Semarang, Idola 92.6 FM – Konflik Pengembangan Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau baru-baru ini memicu perhatian nasional. Kasus ini menjadi sorotan, setelah memicu penolakan keras dari warga setempat yang berujung pada bentrokan pada Kamis 7 September 2023.
Badan Pengusahaan Batam, yang memiliki hak pengelolaan lahan di Pulau Rempang, berusaha melakukan pembebasan atau pengembalian lahan dengan memasang patok lahan. Namun, tindakan tersebut mendapat penolakan warga yang telah lama bermukim di pulau tersebut. Sebanyak delapan orang telah ditangkap menyusul bentrokan antara aparat dan warga di Pulau Rempang, Kepulauan Riau.
Dalam perkembangan terbaru, kepolisian juga mengatakan, sebanyak 11 orang yang terdampak gas air mata sudah kembali ke rumah masing-masing setelah mendapat perawatan medis.
Sebelumnya, sebanyak 16 kampung adat di Pulau Rempang dan Pulau Galang, Kepulauan Riau terancam tergusur oleh pembangunan proyek strategis nasional bernama Rempang Eco City. Sebagian masyarakat adat menolak direlokasi, karena khawatir akan kehilangan ruang hidup mereka. Sementara BP Batam beralasan proyek ini demi mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Dalam cuitannya, politisi Fahri Hamzah menyebut, niat baik membuka investasi dan keberanian pengusaha mengambil risiko, tidak bisa disalahkan. Kesalahannya biasanya pada aparat dan pemda yang ngobyek untuk kepentingan pribadi dengan menjadi calo tanah dan main perkara. Lebih kacau kalau ada Parpol di belakangnya.
Dalam kasus pembebasan lahan, menurut Fahri, di hulu pengusaha dicekik oleh para penegak hukum yang tidak disiplin mengakhiri ketidakpastian. Di hilir, pengusaha harus berurusan dengan pemda dan calo yang bergentayangan minta sogok dan bagian.
Lalu, rakyat di mana? Rakyat awalnya hanya menjadi penonton dan di ujung menjadi korban pertarungan perebutan kepentingan. Ini yang harus dihentikan. Investor menunggu datangnya kepastian. Mereka mengantri asalkan ada jaminan!
Lantas, berkaca dari konflik lahan di Pulau Rempang Batam Kepri, meskipun masuknya investasi sangat diharapkan untuk mendorong kemajuan; tapi haruskah rakyat yang mesti dikorbankan?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, yakni: Prof Dr Rachmad Safa’at (Guru besar bidang Ilmu Hukum Lingkungan dan Sumber Daya Alam Universitas Brawijaya Malang) dan Wirya Adiwena (Deputy Director Amnesty International Indonesia). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: