Semarang, Idola 92.6 FM – Pemilu dan Pilpres sudah semakin dekat, suhu politik pun kini sudah terasa semakin “hangat.” Sebagai warga bangsa tentu kita berharap semoga suasana pesta kali ini tak seperti yang pernah terjadi di Pilkada DKI tahun 2017 yang tercatat sebagai pilkada paling buruk. Juga tak seperti Pilpres 2019 yang terbilang “kurang menyenangkan” untuk ukuran sebuah pesta demokrasi, pestanya rakyat.
Karena pada saat itu, banyak muncul ‘agitasi’ dan ‘polarisasi’ yang ‘membelah bangsa’ menjadi penuh permusuhan. Bahkan sampai merenggangkan hubungan antar-teman, antar-keluarga, antar suami-isteri hanya karena beda pilihan. Maka kita berharap semoga keadaan yang sama tidak terulang lagi pada pilpres 2024 nanti.
Sayangnya, kalau kita melihat di media sosial, kini sudah mulai muncul para agitator yang mulai menebar narasi dengan nada ‘memanas-manasi’. Kita bisa mengenali ‘ciri-ciri dagangan’ yang bernada agitasi. Yaitu: mencari sisi buruk masa lalu para pesaingnya, lalu menjadikan kekurangan para pesaingnya sebagai pilihan tema.
Prabowo, misalnya, kembali diusik perannya pada ’98 atau Ganjar dengan video pornonya hingga kasus E-KTP, juga Anies yang disebut akan membawa Indonesia kembali ke zaman batu, seakan-akan hal-hal itu jauh lebih penting ketimbang berupaya mem-branding tokoh pilihannya.
Jegal menjegal, di awal agar lawan tak bisa bertanding dalam kondisi ‘segar’ seolah menjadi lebih penting dibanding menyuguhkan pertandingan yang bermutu.
Padahal, baik Ganjar maupun Prabowo, dua-duanya sudah selesai dengan masalah masa lalunya. Ganjar bisa jadi Gubernur Jateng selama 2 periode, membuktikan bahwa catatan buruk video bokep atau kasus E-KTP tidak memiliki relevansi. Pun, Prabowo pada perannya pada tahun ’98; Fakta bahwa dia “bisa dan boleh nyapres” sebanyak dua kali, plus menjadi Menteri Pertahanan menjadi bukti kalau ‘issue 98’ itu merupakan ‘dagangan lama’ yang tidak laku.
Padahal, kalau mereka memahami “nilai plus” jagoannya, mestinya mereka tak perlu sibuk, cukup jual ‘nilai lebih’ kandidat pilihannya sebagai jaminan. Atau memang jangan-jangan, mereka kurang wawasan? Selain tergolong ‘tuna gagasan’ sehingga hanya bisa menjual permusuhan?
Lalu, kenapa dari Pemilu ke Pemilu, kita masih miskin narasi sehingga cuma menakut-nakuti dan mengekspose kekurangan pesaing? Kenapa tak ada atau belum ada narasi yang mengusung ‘gagasan’ yang obyektif untuk menghadapi tantangan bangsa ke depan? Seperti perubahan iklim, bonus demografi, reformasi birokrasi, dan lain-lain? Bagaimana mendorong publik untuk tidak terjebak saling menjelekkan? Misalnya, bllagaimana mengkapitalisasi kekayaan mineral kita agar bisa menjadi modal melesatnya bangsa ke depan?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, nanti kami akan berdiskusi dengan narasumber, yakni: Prof. Budi Setiyono (Pengamat Politik/ Guru Besar Ilmu Pemerintahan Universitas Diponegoro Semarang), Prof. H.M. Mukhsin Jamil (Wakil Rektor UIN Walisongo Semarang), dan Arsul Sani (Wakil Ketua Umum DPP PPP). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: