Sekarang, Idola 92.6 FM – DPR RI saat ini tengah merumuskan perubahan terbatas Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Selain memperpanjang masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun, DPR juga mengusulkan kenaikan alokasi dana desa menjadi 15 persen dari dana transfer daerah.
Usulan revisi Undang-undang Desa dinilai sarat kepentingan politik karena dilakukan hanya delapan bulan menjelang pemungutan suara Pemilu 2024. Selain itu, revisi terbatas Undang-undang Desa sebenarnya tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023.
Salah satu pertimbangan Baleg mengusulkan perpanjangan masa jabatan kepala desa adalah menghindari gesekan yang tinggi di antara masyarakat akibat pemilihan kepala desa (Pilkades). Selama ini…mereka menilai, pilkades kerap menimbulkan masalah sehingga mengganggu pembangunan desa.
Revisi ini pun menuai reaksi dari sejumlah pihak, salah satunya Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Menurut mereka, sangat tidak elok revisi Undang-undang Desa dilakukan menjelang Pemilu. Revisi Undang-undang Desa dikhawatirkan sarat kepentingan politis karena dipastikan akan muncul simbiosis mutualisme antara kepala desa dan politisi. Perubahan UU Desa berpotensi menjadi kampanye para politisi untuk mendulang suara.
Lantas, apa urgensi perpanjangan masa jabatan Kepala Desa—yang bahkan tidak masuk di dalam Prolegnas? Kenapa RUU Perampasan Aset, yang didorong oleh banyak pihak justru tidak dibahas? Apa kira-kira manfaat perpanjangan Kepala Desa bagi masyarakat luas?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Ubedilah Badrun (Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta), Dr Aan Eko Widiarto (Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya Malang), dan Armand Suparman (Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD)). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: