Semarang, Idola 92.6 FM – Kecakapan generasi muda termasuk kalangan milenial diperlukan untuk membangun peradaban bangsa. Mereka dituntut memiliki cara berpikir yang relevan dengan zamannya. Diperlukan kehadiran dua aktor penting, yakni negara dan masyarakat sipil (civil society) untuk
Hal itu mengemuka dalam diskusi Semarang Trending Topic dengan tema “Milenial Membangun Peradaban” yang diselenggarakan radio Idola Semarang bekerja sama dengan Politeknik Negeri Semarang (Polines), Jumat (26/05) di Allstay Hotel Jl Veteran No 51 Semarang.
Hadir sebagai narasumber: KH Taj Yasin Maimoen (Wakil Gubernur Jawa Tengah), Prof HM Mukhsin Jamil (Wakil Rektor UIN Walisongo Semarang), dan Dr Eni Dwi Wardhani (Wakil Direktur Polines). Acara dipandu penyiar radio Idola Semarang, Dony Asyhar.
Prof Mukhsin menyatakan, masyarakat mesti memahami karakteristik generasi milenial. Sehingga, kita tepat untuk memberikan lingkungan sosial, budaya, bahkan lingkungan politik dan ekonomi yang tepat bagi mereka. Mereka hidup dalam satu situasi– di mana revolusi teknologi berkembang begitu sangat cepat.
“Sehingga, hidupnya serba mudah. Karena hidupnya serba mudah, mereka memiliki budaya mudah bosan melihat sesuatu karena untuk memeroleh sesuatu itu juga bisa diperoleh dengan cara yang cepat pula, terutama teknologi informasi hari ini,” ujar Prof Mukhsin.
Salah satu karakter generasi milenial yakni mudah bosan. Mudah bosan untuk bertahan dalam situasi tertentu. Mereka selalu ingin mengeksplorasi terhadap hal-hal baru. Bagi generasi milenial, tak ada gadget tak ada kehidupan.
“Yang paling konkret, mereka itu, no gadget no life! Artinya apa? Sekarang mereka memiliki sumber-sumber belajar untuk hidup dari lingkungan digital yang masif ” imbuh Prof Mukhsin.
Ia mencontohkan, belanja dengan fasilitas digital, belajar dengan fasilitas digital, bahkan beribadah hari ini juga difasilitasi dengan fasilitas digital. “Sekarang muncul istilah, metaverse digital. Kita mau umroh, hanya dengan alat virtual reality,” tuturnya.
Dua Aktor Harus Hadir: Negara dan Civil Society
Karena itu, menurut Prof Mukhsin, melihat fenomena ini, dua aktor harus hadir. Yakni, aktor negara dan civil society. Aktor negara sangat banyak, mulai dari pemerintah, politisi, penegak hukum, dan lain sebagainya. Mereka harus menciptakan kebijakan yang mengkondisikan satu lingkungan sosial, kultural, politik, ekonomi yang memang yang bisa mendewasakan mereka, membentuk mereka, sikap mental dan cara berpikir yang relevan.
“Menjadi relevan, kata kuncinya. Jadi, bagaimana negara bisa mendorong generasi milenial untuk relevan dengan zamannya!” kata Prof Mukhsin.
Prof Mukhsin menjelaskan, untuk aktor kedua, civil society. Mulai dari lembaga pendidikan, organisasi sosial kemasyarakatan, organisasi kepemudaan, dan lain sebagainya. Mereka harus hadir dalam situasi yang dialami generasi milenial.
Lalu, apa yang bisa mereka hadirkan? Menurut Mukhsin Jamil, salah satunya, membentuk kecakapan Abad 21. Di antaranya, berpikir kritis (critical thinking).
“Kenapa kecakapan ini penting? Hari ini eranya post-truth. Persoalan era saat ini bukan kebenaran, tapi apa saja informasi yang menggerakkan emosi–itu yang diambil orang. Persoalannya bukan pada informasi benar atau salah, tapi informasi yang bisa menggerakkan emosi. Sehingga, critical thinking bagi generasi milenial sangat penting,” tandas Prof Mukhsin.
Pentingnya Fondasi Pendidikan Karakter Sejak Dini
Sementara itu, Taj Yasin Maimoen mengatakan, anak-anak muda dibutuhkan dalam membangun peradaban sebab anak muda saat ini adalah pemimpin masa depan.
“Anak muda dituntut untuk memberikan dan mendapatkan sesuatu yang bermanfaat bukan hanya untuk dirinya sendiri tapi juga lingkungannya,” kata Gus Yasin, panggilan akrab Taj Yasin Maimoen.
Di hadapan puluhan peserta, Gus Yasin mengajak masyarakat untuk belajar dari negeri Yaman dalam mendidik anak-anak dan generasi mudanya. Dalam mendidik anak-anak, sebagian penduduk Yaman memulai dengan fondasi pendidikan karakter yang kuat pada anaknya sejak dini. Melalui penguatan keimanan dan melalui kebiasaan baik.
“Di Yaman, anak-anak dikuatkan dalam keimanan dulu. Ketika usia 0 sampai 9 tahun, anak-anak benar-benar dididik oleh orang tua. Diajak ke tempat ibadah. Diberi materi untuk menjadi kebiasaan,” ujar Gus Yasin yang juga politisi PPP ini.
Sehingga, lanjutnya, setelah mereka benar-benar sudah terbiasa dengan kebiasaan positif tersebut, baru mereka dikenalkan dengan dunia luar, termasuk pendidikan di luar negeri mereka.
“Ke daerah mana, suatu lingkungan yang seperti mana, saat itu memorinya akan mengingat. Ini baik, ini jelek,” katanya.
Polines Siap Hadir sebagai Kampus yang Menempa Generasi Muda
Eni Dwi Wardhani menambahkan, Polines sebagai kampus yang komitmen menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas (commited to quality), siap menjadi lembaga pendidikan yang hadir untuk menempa generasi muda.
“Polines siap mewadahi karakteristik generasi milenial yang tadi disebutkan Prof Mukhsin Jamil. Di mana kita harus mewadahi mereka, dengan lingkungan yang inklusif yang menerima keberagaman,” ujarnya.
Eni menambahkan, generasi muda dituntut memiliki mindset berpikir kritis. Mereka kritis. Sehingga, kita harus menyiapkan infrastruktur agar mereka bisa berinovasi dan mengembangkan diri.
“Jadi, kita harus menyiapkan mereka berinovasi. Sehingga, diperlukan regulasi-regulasi (ketentuan-ketentuan Pemerintah-Red) yang lebih adaptif untuk membantu mengembangkan inovasi mereka,” ujarnya.
Eni mencontohkan, di India, mobil-mobil hampir semua bersuara kecuali klaksonnya. Kalau di Indonesia, mobilnya tak ada yang bersuara, tapi klaksonnya bersuara. Tapi yang perlu kita diperhatikan, di India, mobil hasil kreasi sendiri.
Sementara di Indonesia, jalan raya yang dibangun dari pajak pemerintah–yang melewati mobil-mobil dari luar negeri. Padahal, kita memiliki generasi yang inovatif, berpikir kritis, dan lain sebagainya.
“Maka, kita perlu regulasi itu tadi. Jadi, pada saat kita siapkan generasi yang membuka inovasi, kita perlu siapkan regulasi di sebelahnya,” tandasnya. (her)