Bagaimana Menekan Biaya Politik Tinggi?

Ilustrasi
Ilustrasi/Istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Baru baru ini,  Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat adanya aliran dana tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari kegiatan-kegiatan ilegal di sektor kehutanan, pertambangan, hingga perikanan ke dalam proses kontestasi pemilihan umum atau pemilu. Hasil riset itu memiliki hubungan dengan temuan PPATK dan KPK bahwa dana pencucian digunakan untuk pendanaan pemilu.

Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengungkapkan, pihaknya  telah melaporkan hasil analisis terkait aliran dana gelap ini ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Menruut mereka, praktik ini terjadi, baik pada pemilihan level kepala daerah hingga calon legislatif.

Kendati demikian, PPATK enggan merinci jumlah besaran dana yang mengalir dari kegiatan ilegal itu kepada para peserta pemilu. Hanya saja, jumlah aliran dana yang ditelusuri selama dua kali penyelenggaraan pemilu di Tanah Air bisa mencapai triliunan rupiah.

Lalu, kita pun bertanya-tanya, apakah ini berhubungan dengan biaya politik yang tinggi di Indonesia selama ini? Sebab beberapa waktu lalu, kita mencatat pernyataan dari Alexander Marwata, Wakil Ketua KPK yang menyebut bahwa biaya politik di Indonesia sangat tinggi.

Dana Kampanye
Ilustrasi/Istimewa

Alex menyebut, dari survei yang dilakukan KPK, salah satu hasilnya mengungkapkan bahwa dana yang harus dimiliki para calon untuk menjadi kepala daerah tingkat II sebesar Rp20-30 miliar. Untuk gubernur,  harus memiliki dana hingga Rp100 miliar.

Lantas, membaca temuan PPATK yang mencatat adanya aliran dana tindak pidana pencucian uang (TPPU) pada proses kontestasi Pemilu, apa yang sebenarnya pokok pangkalnya? Apa yang membuat biaya politik tinggi? Apa  pula dampaknya? Lalu, bagaimana menekan—syukur-syukur menghilangkan biaya politik tinggi?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan sejumlah narasumber, antara lain: Pengamat Politik/Dosen FISIP Universitas Indonesia, Aditya Perdana, Ph.D; Peneliti Senior Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Indonesia dan Ketua ASA Indonesia, Syamsudin Alimsyah; dan Wakil Ketua Umum DPP PPP, Arsul Sani.(her/yes/tim)

Simak podcast diskusinya:

Ikuti Kami di Google News
Artikel sebelumnya18 Ribu Pelanggan Yang Terdampak Banjir Sudah Kembali Nikmati Jaringan Listrik PLN
Artikel selanjutnyaNorwegia Jajaki Kerja Sama Transisi Energi Dengan Jateng