Bagaimana Mencegah agar Tidak Terjadi “Pseudo Pemilu” dalam Pemilu 2024?

Logo Idola

Semarang, Idola 92.6 FM – Pemilu di Indonesia cukup menarik untuk diamati karena mempunyai warna dan ciri khas tersendiri. Di Indonesia, pemilu adalah perayaan untuk sebuah janji yang diulang berulang kali. Dalam perayaan pemilu, janji dilontarkan oleh politikus kepada rakyat yang selalu berstatus sebagai “korban” dalam setiap perayaan pemilu. Janji yang diucapkan politikus selalu muncul dalam berbagai nuansa.

Demikian dilontarkan Miftah Rinaldi Harahap (Pegiat Komunitas New Nativ) dalam opini yang dimuat di Kumparan (14/10/23). Menurut Miftah dalam opini yang berjudul “Pseudo Pemilu”, dalam dunia media massa dan sosial media, ada suatu budaya baru yang berkembang di kalangan rakyat yaitu budaya like and dislike. Budaya like and dislike membuat rakyat terbiasa menilai argumentasi seseorang, tidak berlandaskan pada apa yang disampaikan tetapi lebih kepada siapa yang menyampaikan.

Masih menurut Miftah, dua faktor yang merugikan rakyat ini seakan dirawat oleh para politikus agar setiap skenario yang mereka rencanakan bisa dengan mulus dipentaskan. Politikus seakan menikmati jika rakyat selalu berada dalam posisi korban dalam setiap perayaan pemilu.

Miftah mengungkapkan, seperti efek domino nuansa yang sesuai dengan skenario akan memudahkan para politikus untuk menyusun janji-janji yang akan disampaikan lagi kepada rakyat. Relasi yang dibangun berdasarkan nuansa seperti ini adalah relasi yang semu alias “pseudo Pemilu”, persis seperti dua orang yang baru berkenalan di sosial media yang hanya mencoba untuk saling mengenal dari melihat foto profil dan percakapan singkat.

Opini Miftah ini menggelitik radio Idola Semarang untuk mendalami sekaligus mendiskusikannya dengan mewawancara beberapa narasumber.

Lalu, supaya rakyat tidak hanya sebagai alat legitimasi mandat, bagaimana mencegah agar tidak terjadi “Pseudo Pemilu” dalam Pemilu 2024? Apa jalan yang mesti kita tempuh agar kita bisa keluar dari demokrasi prosedural, menuju demokrasi substansial?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, yakni: Dr Herdiansyah Hamzah (Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Mulawarman Samarinda Kalimantan Timur) dan Prof Budi Setiyono (Pengamat Politik/ Guru Besar Ilmu Pemerintahan Universitas Diponegoro Semarang). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya:

Ikuti Kami di Google News