Semarang, Idola 92.6 FM – Setelah pemerintah Indonesia menghentikan ekspor bijih nikel ke Uni Eropa sejak tahun 2020 hingga sekarang, Uni Eropa geram, sehingga menggugat Indonesia ke World Trade Organization (WTO) perihal pembatasan ekspor nikel, bijih besi, dan kromium yang sangat diperlukan Eropa sebagai bahan baku industri baja nirkarat (stainless steel).
Sekarang, kita dihebohkan dengan isu pernyataan Dana Moneter Internasional (IMF) yang meminta kepada pemerintah Indonesia untuk mempertimbangkan penghapusan kebijakan larangan ekspor nikel dan tidak meluas pada komoditas lain.
IMF dalam laporan terbarunya meminta Indonesia menghapus kebijakan pembatasan ekspor nikel secara bertahap karena dinilai akan merugikan Indonesia. IMF meminta kebijakan hilirisasi, terutama nikel harus berlandaskan analisis terkait biaya dan manfaat lebih lanjut. Kebijakan hilirisasi oleh Indonesia, menurut IMF juga perlu dibentuk dengan mempertimbangkan dampak-dampak adanya potensi kehilangan pendapatan negara Indonesia yang juga berdampak terhadap wilayah lain.
Merespons hal itu, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menyatakan, meski langit runtuh pun, hilirisasi tetap akan menjadi prioritas negara. Larangan ekspor (mineral mentah) tetap akan dipertahankan.
Lalu, apa tujuan IMF merekomendasikan Indonesia untuk menjual mineral mentah? “Kuda Troja” milik pihak manakah yang sedang dibawa oleh IMF? Serta, apa saja kemungkinan paling buruk yang harus dihadapi Indonesia kalau menentang secara frontal IMF dan Uni Eropa sekaligus?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, yakni: Fahmy Radhi (Pengamat ekonomi dan energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta) dan Bhima Yudistira Adhinegara (Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS)). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: