Semarang, Idola 92.6 FM – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengusulkan perubahan Undang-Undang TNI agar perwira aktif TNI dapat bertugas di kementerian/lembaga atau dalam arti lain, menduduki jabatan sipil.
Luhut beralasan, jika Langkah itu terwujud, maka tidak akan ada lagi perwira-perwira tinggi TNI AD yang mengisi jabatan-jabatan tak perlu, sehingga kerja TNI AD semakin efisien. Para perwira tinggi AD itu nantinya juga tidak perlu berebut jabatan karena mereka bisa berkarir di luar institusi militer.
Sejumlah pihak pun bereaksi. Mereka menilai, wacana itu bertentangan dengan amanat reformasi 98 yang melarang keterlibatan TNI dalam peran sosial politik atau yang dikenal dengan sebutan dwifungsi ABRI.
Selain itu, menurut pakar hukum tata negara dan aktivis demokrasi, penempatan tentara aktif di instansi pemerintah tidak ada urgensinya, kecuali negara berada dalam keadaan darurat perang atau konflik.
Lantas, menimbang wacana penempatan perwira aktif TNI untuk menduduki jabatan sipil di Kementerian atau Lembaga, apa potensi yang paling dikhawatirkan dari wacana ini? Kalau dahulu, Reformasi 98 telah menghapus Dwi Fungsi ABRI/TNI, maka apakah wacana ini tidak malah menggambarkan kemunduran atau setback bagi Indonesia?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, di antaranya: Herry Mendrofa (Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Strategic Actions (CISA)), Rozy Brilian (Divisi Riset dan Dokumentasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), dan Letjen (Purn) Kiki Syahnakri (Purnawirawan TNI AD). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: