Seberapa Besar Dampak Presidential Threshold Bagi Demokratisasi, Sampai Ada yang Berniat Memboikot Pemilu?

Ilustration
ilustrasi/istimewa

Semarang, Idola 92.6 FM – Di dalam sistem kepemiluan kita, khususnya pada tata aturan pemilihan presiden, terdapat ketentuan ambang batas presiden atau presidential threshold dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Ambang batas presiden mengatur tentang syarat partai atau gabungan partai yang boleh mengusung pasangan capres dan cawapres, sedikitnya harus memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah di level nasional.

Dengan presidential threshold 20 persen itu, nyaris tidak ada satu pun partai yang bisa mengajukan capres, meskipun saat ini hanya PDI Perjuangan yang bisa mengusung capres-cawapres tanpa harus menggandeng parpol lain. Dengan kata lain, bagi parpol-parpol menurut Pendiri Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D), Rocky Gerung, mereka harus ‘kawin paksa’. Siapa yang memaksa kawin paksa parpol…?? Ya, presidential threshold itu.

Inilah, yang oleh para pengamat demokratisasi disebut tidak demokratis. Sedangkan, Undang-Undang Dasar 1945 juga tak memberi syarat apa-apa. Siapa calon presiden dan wakil presiden Republik Indonesia menurut konstitusi? Mereka adalah seorang warga negara Indonesia.

Tetapi sisi lain, kita pun belum mengetahui alasan substantif, sehingga parpol kekeuh memasang presidential threshold. Padahal, kalau mengacu UUD 1945, semua partai boleh mengajukan. Toh, nanti yang memilih adalah warga negara Indonesia.

Lalu, seberapa besar dampak presidential threshold bagi demokratis atau tidaknya pilpres nanti? Apa implikasinya terhadap demokratisasi sehingga sampai ada yang mengajak boikot Pemilu karena ada presidential threshold? Lalu, di sisi lain, apa pentingnya presidential threshold bagi Parpol sehingga mereka kekeuh memasangnya?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, di antaranya:Bivitri Susanti (Ahli Hukum Tata Negara/ Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera), Arsul Sani (Politisi Partai Persatuan Pembangunan (P3)/ Wakil Ketua MPR RI), Prof Budi Setiyono (Pengamat Politik/ Guru Besar Ilmu Pemerintahan Universitas Diponegoro Semarang), dan Anwar Hafid (Politisi Partai Demokrat/ Anggota DPR RI). (her/yes/ ao)

Simak podcast diskusinya:

Ikuti Kami di Google News