Semarang, Radio Idola 92,6 FM – Penambahan alokasi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dilakukan pemerintah baru-baru ini dinilai hanya bersifat jangka pendek. Dalam hal ini, pemerintah tetap harus mencari cara untuk menekan subsidi, agar tidak semakin membebani Anggaran Pendapatan dan belanja Negara (APBN).
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi mengatakan, saat ini penambahan anggaran subsidi BBM untuk menahan kenaikan harga Pertalite sudah sangat tepat dalam menjaga inflasi dan daya beli masyarakat. Namun demikian, secara jangka panjang pemerintah tetap harus mencari cara untuk menekan anggaran subsidi, agar tidak membebani APBN.
“Saya rasa, untuk jangka panjang harga BBM tetap harus dinaikkan. Selain itu, pengurangan subsidi bisa dilakukan dengan melakukan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi bagi masyarakat mampu,” katanya.
Ditambahkan Fahmy, subsidi yang diberikan untuk Pertalite banyak yang tidak tepat sasaran, karena banyak dikonsumsi oleh masyarakat mampu. Untuk itu, pembatasan bisa dilakukan, diantaranya Pertalite hanya untuk kendaraan roda dua.
“Pembatasan bisa dilakukan, misalnya Pertalite hanya untuk motor. Terus Solar hanya untuk kendaraan umum, baik orang ataupun barang. Itu mudah untuk diterapkan,” imbuhnya.
Seperti diketahui, Badan Anggaran (Banggar) DPR menyetujui tambahan alokasi subsidi energi sebesar Rp74,9 triliun dan tambahan alokasi pembayaran kompensasi sebesar Rp275 triliun, terdiri dari kompensasi BBM Rp234 triliun serta kompensasi listrik Rp41 triliun.
Sementara itu, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mendukung rencana pembatasan konsumsi BBM subsidi bagi masyarakat mampu. Namun demikian, harus ada kejelasan aturan yang mudah diterapkan di lapangan, agar tidak menimbulkan konflik.
Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Tengah, Sujarwanto Dwiatmoko mengatakan, hingga kini belum ada aturan terkait dengan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Sedangkan aturan yang dibuat nantinya harus memberikan kemudahan identifikasi golongan mana yang berhak membeli BBM bersubsidi.
“Misalnya, pengguna Pertalite itu hanya motor saja, maka Pertalite yang dijual di SPBU ya khusus hanya untuk motor. Adapun untuk mobil pakainya Pertamax,” ujar Sujarwanto.
Selain itu, lanjutnya, konsumsi BBM bersubsidi untuk angkutan umum juga mesti diatur dengan jelas. Hal ini mengingat kini banyak juga kendaraan pribadi yang digunakan sebagai transportasi online.
“Kalau angkutan umum yang berplat kuning itu gampang. Tapi nanti orang-orang yang kendaraannya untuk transportasi online juga harus jelas,” ujar Sujarwanto.
Menurutnya, saat ini konsumsi Pertalite di Jateng meningkat karena adanya peralihan konsumsi Pertamax ke Pertalite. Secara nasional, hingga Mei 2022,jumlah realisasi Pertalite telah mencapai lebih dari 50 persen dari kuota yang ditetapkan untuk tahun 2022.
“Datanya kurang lebih sama dengan nasional, karena memang pulau jawa kan kontribusi besar untuk konsumsi BBM,” ungkapnya.
Sujarwanto pun mendorong masyarakat mampu untuk menggunakan Pertamax dibandingkan dengan Pertalite yang merupakan BBM bersubsidi. Selain itu, edukasi ke masyarakat juga terus digencarkan, termasuk pengawasan terhadap terjadinya penyimpangan penggunaan BBM bersubsidi.
“Kita terus lakukan edukasi ke masyarakat, juga pengecekan di lapangan, untuk memastikan tidak ada penyimpangan, termasuk untuk ketersediaannya di SPBU,” pungkas Sujarwanto.(tim)