Semarang, Idola 92.6 FM – Sejumlah pasal dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHAP) versi 9 November lalu memperoleh sorotan dari sejumlah pihak. Masyarakat sipil menyoroti pasal-pasal yang mengatur pidana bagi setiap orang yang menyerang martabat lembaga negara seperti presiden atau wakil presiden.
Hal itu mengemuka dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Jakarta. Aliansi Reformasi KUHP berpandangan, ada sejumlah pasal yang harus dibatasi. Hal itu di antaranya Pasal 218 dan 2019 yang—antara lain mengatur pidana bagi setiap orang orang yang melakukan penyerangan kehormatan atau harkat serta martabat presiden dan wakil presiden.
Sementara, menurut Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), mereka tidak setuju dengan diaturnya pasal penghinaan kepada lembaga negara di RKUHP. Apalagi, disebutkan pula di draft tersebut, penghinaan yang bisa menyebutkan kerusuhan.
Lalu, di tengah polemik, perlukah pasal penghinaan kepada lembaga negara diatur dalam RKUHP? Apa sesungguhnya di balik kepentingan Pemerintah dan DPR yang tetap mempertahankan pasal penyerangan terhadap martabat lembaga negara–di tengah penolakan dari sejumlah pihak? Dan, apa implikasinya jika ini tetap akan diterapkan?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani. (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: