Semarang, Idola 92.6 FM – Fenomena tanah bergerak dalam beberapa tahun terakhir terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia. Bencana tanah bergerak itu pun diduga terjadi karena intensitas hujan yang tinggi, termasuk tanah yang labil.
Beberapa daerah yang mengalami tanah bergerak itu antara lain: Aceh Besar (Aceh), Sukabumi (Jawa Barat), Purbalingga, Purworejo, Brebes, dan Banjarnegara (Jawa Tengah).
Terkini, yang mendapat sorotan publik, terjadi di Kabupaten Banjarnegara tepatnya di Desa Bantar Kecamatan Wanayasa. Dampak tanah gerak tersebut semakin meluas. Saat ini, lebih dari 8,9 hektare kebun salak hilang akibat pergerakan tanah.
Tanah gerak ini juga memutus akses jalan menuju Desa Suwidak, Wanayasa. Saat ini, sedikitnya tiga dusun di Desa Suwidak yang hanya bisa diakses menggunakan kendaraan roda dua melalui jalur alternatif. Kepala Desa Suwidak Rip Santoso mengatakan, hingga kini tanah di Desa Bantar dan Suwidak masih terus bergerak. Bahkan, alat deteksi dini bencana tanah longsor atau early warning system (EWS) yang baru dipasang sejak 1 November lalu terus berbunyi.
Lalu, memahami fenomena tanah bergerak dan perubahan iklim, apa solusinya?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Ketua Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti Jakarta, Dr. Suherman Dwi Nuryana, ST, MT. (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: