Bantul, Idola 92,6 FM – Siang hari, matahari bersinar cukup terik di Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan di Kabupaten Bantul.
Cerahnya hari itu dan panasnya terik matahari, tidak menyurutkan sebagian orang datang ke sebuah warung yang berada di pinggir areal persawahan.
Tidak hanya pengendara sepeda motor, tetapi pengguna mobil juga banyak merapat ke sebuah warung sederhana itu.
Adalah warung Kopi Lemah Abang, dengan konsep sederhana dan tidak jauh berbeda bila dibandingkan warung di wilayah perdesaan lainnya.
Beberapa wanita terlihat sibuk di dapur warung, menyiapkan makanan maupun minuman bagi para pengunjung.
Sedangkan pekerja pria, mengantarkan hidangan ke para pengunjung warung.
Namun tunggu dulu, ada yang tidak biasa di warung ini bila dicermati lebih dalam.
Ternyata, warung ini tidak mengunakan piranti elektronik atau alat modern lainnya semacam televisi maupun pendingin ruangan (AC).
Satu-satunya alat elektronik yang ada di warung itu hanya alat pembaca transaksi elektronik (EDC) bagi pembeli saat akan membayar tagihan menunya.
Seorang wanita kemudian jalan ke arah kami, dan setelah mengenalkan diri sejurus kemudian duduk sambil menyilakan kami menikmati wedang jahe sereh dan jahe kencur yang sedari tadi memang belum berkurang airnya sejak dihidangkan.
Nining Sugiatmini, sang pemilik warung Kopi Lemah Abang menceritakan awal keberaniannya membuka warung di pinggir sawah.
Saat itu, usahanya yang ada di Gunung Kidul gulung tikar karena sudah mulai banyak saingan dan kondisinya tidak seperti pada awal membuka warung.
Setelah berputar di wilayah Bantul, dirinya bersama suami menemukan lahan yang dianggap cocok dijadikan sebagai warung.
Sebagai orang yang masih mengusung dan menghormati petuah leluhur, Nining membuka warung tapi tak memakai tenaga listrik dari PLN sebagai sumber energi.
Menurut Nining, dirinya sengaja tidak menggunakan atau tidak memakai sumber energi listrik dari PLN agar konsep warungnya benar-benar menyatu dengan alam.
Bahkan, warungnya itu bagi pengunjung dari kota serasa pulang ke rumah simbah atau nenek di desa yang belum tersentuh budaya modern atau teraliri listrik PLN.
”Saya teringat pesan dari ibu dan nenek saya dulu. Jadi saya sengaja membuka warung ini tanpa berlangganan listrik dari PLN,” kata Nining.
Lantas, dari mana listrik sebagai penerangan atau membantu mengolah masak?
Ternyata, aliran listrik yang digunakan berasal dari paparan sinar matahari.
Karena berada di pinggir sawah dan cukup representative lokasinya, membuat panas matahari itu dimanfaatkan sebagai sumber energy baru terbarukan (EBT).
Menurut Nining, dirinya memasang instalasi panel surya atau solar cell di warungnya guna memanen sinar matahari.
”Karena di sini sinar mataharinya melimpah, ya kita manfaatkan saja dengan memasang panel solar cell. Memang di awal pemasangan mahal ya, mas. Saya keluar uang waktu itu Rp5 juta untuk pemasangannya,” ujar Nining.
Bagi Nining, memang solar cell membuatnya mampu menghemat pengeluaran dari sisi pemakaian listrik.
Warungnya dialiri listrik tenaga surya berdaya 1.300 watt.
Terlebih lagi, dirinya juga memiliki homestay dan cukup banyak membutuhkan tenaga listrik dari PLN agar sesuai dengan standar perhotelan.
”Saya kan juga punya penginapan mas di depan itu, pas pintu masuk ke warung. Di sana nyalur listrik PLN, dan tentu saja kebutuhan listriknya cukup banyak,” jelas Nining.
Menurut Nining, dengan menggunakan solar cell itu dirinya mampu berhemat pengeluaran dan menambah pendapatan. Sehingga, dirinya mampu memberikan kesejahteraan lebih kepada karyawannya.
”Seluruh karyawan yang kerja sama saya, mereka ngekos saya yang bayari dan kebutuhan makan bisa ambil di warung. Gaji mereka juga standar UMK Bantul,” imbuhnya.
Tentunya, yang unik dari warung milik Nining adalah saat ada pemadaman bergilir dari PLN maupun cuaca buruk saat hujan deras disertai angin kencang.
Beberapa rumah warga yang dekat dengan warung listriknya padam, namun hanya warungnya masih menyala dan tidak terganggu adanya pemadaman listrik.
”Saya kadang suka becanda saya karyawan, kalau warungnya ada yang nunggu. Mereka kan awalnya tidak tahu kalau saya pasang solar cell dan tahunya listrik ya dari PLN,” ceritanya sambil tertawa.
Menurut Nining, dengan memasang solar cell dan memanfaatkan EBT sebagai pasokan energi listrik membuatnya lebih bisa mengendalikan pengeluaran di sektor pemakaian listrik.
Bahkan, membuat usahanya juga lebih meningkat karena mampu menekan biaya tak terduga dari pemakaian listrik.
”Saya kan tidak ada lemari es di warung, yang ada paling blender atau pompa air. Bahan makanannya juga tidak perlu diawetkan karena beli hari ini untuk habis hari ini. Jadi, semua makanannya segar tanpa pengawet,” papar Nining.
Sementara itu, salah satu pekerja Kopi Lemah Abang, Linda mengaku sudah tiga tahun ikut bekerja dan telah mengetahui jika warung majikannya tidak menyalur listrik PLN.
Namun, saat kali pertama bekerja dirinya tidak tahu dan menganggap jika lampu listrik yang menyala itu karena listrik dari PLN.
”Awalnya juga tidak tahu, mas. Saya kira pakai listrik PLN,” ucap Linda.
Saat memasak, Linda mengaku sedikit berbeda karena lampu di dapur tidak bisa terang seperti lampu-lampu di rumahnya. Sehingga, keadaan dapur tidak terlalu terang.
”Tapi masih aman buat memasak tidak sampai gosong,” ucapnya sambil tertawa.
Menurut Linda, penggunaan panel surya ternyata menjadikan hal baru buat dirinya dan dirinya juga teredukasi bahwa tenaga listrik tidak hanya berasal dari aliran atau sambungan PLN saja.
Sementara itu, suami dari Nining, Suharyanto mendukung sepenuhnya tekad dari istrinya menggunakan panel surya sebagai energy pengganti dari saluran listrik.
Bahkan, untuk mendukung konsep warung yang dibuat sang istri itu dirinya membuat bangunan tidak dengan tembok permanen.
Sebagian dinding warung menggunakan bilah kayu, dan ada bekas kandang sapi digunakan untuk lesehan bagi para pembeli.
”Lantainya juga tidak saya keramik tapi saya beralas tanah tanpa cor-coran semen. Tanah seluas 1.200 meter hanya bagian tertentu yang pakai tembok, biar alami dan nggak panas di mata,” ucap Suharyato.
Menurutnya, penggunaan panel surya sebagai pengganti sambungan listrik dari PLN dipandang memberikan kontribusi baik bagi biaya yang dikeluarkan.
”Setidaknya mampu menghemat biaya pengeluaran dari sektor kelistrikan. Kita juga ada homestay yang itu tentu saja kebutuhan listriknya cukup besar,” jelas Suharyanto.
Salah satu pembeli di warung Kopi Lemah Abang, Ali mengaku cukup kaget karena warung tersebut tidak memakai aliran listrik dari PLN.
Ali yang merupakan mahasiswa asal Madura itu tidak menyangka, di sebuah daerah cukup jauh dari perkotaan ternyata punya kepedulian menggunakan EBT.
”Makanya tadi saya sedikit bingung, kok di warung ini tidak ada alat elektronik seperti TV atau alat elektronik lainnya,” ujar Ali.
Diketahui, pemerintah gencar melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk tidak tergantung pada penggunaan energy fosil.
Tidak hanya di sektor bahan bakar minyak (BBM) saja, tapi juga aliran listrik yang disalurkan PLN.
Indonesia memiliki potensi EBT yang cukup besar di antaranya energy surya sebesar 4,80 kWh/m2/hari.
Pengembangan EBT mengacu pada Perpres Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.
Perpres menyebutkan, kontribusi EBT dalam bauran energi primer nasional pada 2025 sebesar 17 persen, dengan komposisi bahan bakar nabati sebesar lima persen dan panas bumi sebesar lima persen serta surya dan angin sebesar lima persen. (Bud)