Semarang, Idola 92.6 FM – Revisi UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (RUU PPP) dinilai belum menyelesaikan persoalan mendasar dalam proses perumusan regulasi di Tanah Air. Usulan perubahan sejumlah ketentuan di luar pengaturan metode Omnibus Law dalam revisi UU PPP justru dinilai beberapa pihak, berpotensi mengacaukan tata kelola pembentukan regulasi.
Diketahui, UU PPP kembali direvisi sebagai salah satu tindak lanjut dari putusan MK terkait undang-undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. RUU tersebut telah selesai dibahas di tingkat satu.
Salah satu usulan yang berpotensi mengacaukan proses legislasi adalah kewenangan mengundangkan Peraturan perundang-undangan yang diberikan kepada instansi yang berbeda-beda. Setelah melalui perdebatan yang cukup alot di internal pemerintah, akhirnya disepakati adanya pergeseran kewenangan pengundangan. Undang-Undang dan Peraturan Presiden (perpres) yang sebelumnya diundangkan oleh Kemenkumham kini diusulkan menjadi kewenangan Sekretariat Negara (Setneg).
Adapun, peraturan perundang-undangan di luar undang-undang dan perpres masih menjadi kewenangan Kemenkumham. Selain itu, Kemenkumham tidak lagi secara eksplisit sebagai koordinator kementerian yang mewakili presiden dalam pengujian di Mahkamah Konstitusi (MK). Penanganan pengujian terhadap undang-undang di MK dilaksanakan oleh menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan dan melibatkan menteri atau lembaga terkait.
Atas usulan pergeseran kewenangan itu, kalangan akademisi menilai, pengundangan undang-undang dan perpres oleh setneg dan peraturan lainnya oleh Kemenkumham justru membuat pelaksanaan fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan menjadi terpecah-pecah.
Lantas, membaca niat baik Pemerintah yang akan melakukan pergeseran kewenangan pengundangan, apa dampak baik-buruknya? Benarkah, hal itu akan berpotensi mengacaukan proses legislasi?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, di antaranya: Rizky Argama (Ahli Hukum Tata Negara dan peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)) dan Adang Daradjatun (Anggota Komisi 3 DPR RI dari fraksi PKS). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: