Kenapa Kasus Korupsi Kepala Daerah Seperti Layaknya Arisan?

Terbit Rencana Perangin Angin
KPK resmi menahan Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin Angin bersama lima orang lainnya serta mengamankan barang bukti berupa uang sebesar Rp 786 juta terkait pekerjaan pengadaan barang dan jasa tahun 2020 sampai 2022 di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.(ANTARA FOTO)

Semarang, Idola 92.6 FM – Lagi-lagi korupsi.. lagi-lagi korupsi.. KPK menangkap Bupati Langkat Sumatera Utara, Terbit Rencana Perangin-Angin karena diduga terlibat korupsi, Selasa (18/01/2021) lalu. Ini merupakan penangkapan kepala daerah ketiga selama tiga pekan pertama tahun 2022.

Sebelumnya, lembaga antirasuah itu menangkap Wali Kota Bekasi Rahmat Effendy dan Bupati Penajam Paser Utara Kalimantan Timur Abdul Gafur Mas’ud.

Jika Dirunut sejak 1 Juni 2005 silam atau saat pemilihan kepala daerah langsung dimulai, jumlah kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi mencapai 442 kepala daerah. Apabila Bupati Langkat ditahan, Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Kabupaten Langkat itu menjadi kepala daerah yang ke-443. Begitu panjang daftar kepala daerah yang terjerat korupsi.

Fenomena ini seolah juga mengonfirmasi hasil survei KPK dalam pelaksanaan Pilkada tahun 2015, 2017 dan 2018—Bahwa 82,3 persen kontestan Pilkada tahun 2015 dibiayai oleh donatur atau sponsor. Sementara tahun 2017 sebanyak 82,6 persen dan tahun 2018 sebesar 70,3 persen kepala daerah maju dibiayai oleh pihak ketiga.

Kian banyaknya kepala daerah yang terjerat korupsi menandakan adanya persoalan serius dalam sistem politik di Tanah Air. Perbaikan mesti dilakukan karena politik biaya tinggi ditengarai menjadi sebab maraknya korupsi oleh Kepala Daerah.

Lantas, kenapa kasus korupsi kepala daerah seperti layaknya arisan yang ketangkap satu lalu tumbuh seribu? Apakah karena sistem remunerasi atau gaji yang salah atau hanya karena kesrakahan mereka yang tak dapat dicegah?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini/ kami nanti akan berdiskusi dengan beberapa narasumber yakni: Zaenur Rohman (Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta); Zuly Qodir (Sosiolog Universitas Muhammadiyah Yogyakarta); dan M. Nur Solikhin (Peneliti Senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya:

Ikuti Kami di Google News
Artikel sebelumnyaBantu Pemulihan Ekonomi UMKM, HIPMI Jateng Terus Berkolaborasi dan Bersinergi Dengan Pemerintah
Artikel selanjutnyaMengenal Forum Pemuda Peduli Karst Citatah (FP2KC) Peraih Kalpataru bersama Kang Deden