Semarang, Idola 92.6 FM – Parag Khanna dalam bukunya, Connectography, mengilustrasikan: akan banyak negara yang tidak pantas lagi menjadi anggota G20 dan digantikan oleh gubernur atau wali kota yang memimpin megacity dikarenakan ukuran ekonomi provinsi atau kota yang dia wakili, melebihi sebuah negara. lustrasi paling fenomenal berasal dari California, negara bagian tempat Silicon Valley dan Hollywood berada itu, memiliki ukuran ekonomi ke-6 terbesar dunia, mengalahkan Prancis di tahun 2016. McKinsey & Co juga mengilustrasikan ukuran ekonomi Mumbai, setara dengan Malaysia atau Delhi setara dengan Filipina pada tahun 2030.
Ukuran ekonomi yang besar dari sebuah megacity tergantung kemampuannya dalam menarik creative class untuk tinggal, berinteraksi, dan berkarya sehingga mengakselerasi roda perekonomian. Richard L. Florida, seorang ahli teori studi perkotaan Amerika yang berfokus pada teori sosial dan ekonomi membagi creative class menjadi dua: super-creative core dan creative professionals. Super-creative core merupakan penduduk yang menggunakan keahliannya untuk menciptakan kreasi-kreasi baru yang siap digunakan, terdiri atas ilmuwan, engineers, artis, dan lain-lain. Adapun creative professionals adalah penduduk yang memberikan jasanya sesuai dengan kompetensi fungsional yang dikuasainya, seperti pengacara, dokter, manajer, dan lainnya. Semakin tinggi proporsi creative class dalam sebuah megacity, dapat dipastikan pendapatan per-kapitanya juga meningkat.
Parag Khanna memprediksi, hingga tahun 2030 akan ada 50 megacities. Keberadaan megacity dengan ukuran ekonomi yang besar ternyata ditunjang dengan banyaknya universitas berkelas dunia. Di California (klaster San Francisco-Los Angeles), terdapat 11 universitas top 100 dunia, misalnya Stanford, UC Berkeley, atau UCLA. Klaster Boston-New York-Pennsylvania, menjadi rumah dari 10 universitas top 100 dunia, seperti Harvard, MIT, Princeton, dan lainnya. London sebagai sebuah megacity juga didukung oleh 6 universitas top 50 dunia. Bagaimana dengan Asia? Singapura hanya menyumbangkan 2 universitas kelas dunia, namun keduanya di top 20 dunia.
Sayangnya, di tengah harapan akan hadirnya megacities yang mensyaratkan keberadaan universitas berkelas dunia, kita justru dihadapkan pada fakta bahwa banyak Perguruan Tinggi di Indonesia yang menghadapi hambatan. Perguruan tinggi di Indonesia didominasi perguruan tinggi-perguruan tinggi kecil. Akibatnya, tata Kelola menjadi tidak optimal sehingga berpengaruh pada pencapaian mutu Pendidikan.
Menyehatkan Perguruan Tinggi, sangat strategis dalam menyiapkan SDM berkualitas dan berdaya saing global. Dengan SDM yang seperti inilah yang disebut creative class yang akan menjadi hulu bagi persaingan megacities, meningkatkan income per kapita..dan seterusnya.
Maka, apa saja upaya yang perlu dilakukan dalam usaha menyehatkan Perguruan Tinggi agar bisa menarik gerbong-gerbong kepentingan bangsa; seperti megacities, creative class, dan peningkatan income per kapita?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, di antaranya: Prof. Akhmaloka (Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) periode 2010-2015 dan rektor Universitas Pertamina 2016-2021), Johanes Eka Priyatma, Ph.D (Rektor Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (periode 2018-2022), dan Dr Ferdinand Hindiarto SPsi MSi (Rektor Unika Soegijapranata Semarang). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: