Semarang, Idola 92.6 FM – Kekhawatiran kembali munculnya politisasi identitas yang memicu polarisasi dalam Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden 2024 mulai mencuat belakangan ini. Hal itu bahkan sudah mulai muncul di dunia maya dengan penyebutan Partai Nasdem sebagai Nasdrun, merujuk pada istilah kadrun yang sempat mencuat pada Pemilu dan Pilpres 2019 lalu.
Pelabelan muncul setelah deklarasi pencapresan Anies Baswedan oleh Partai Nasdem pada 2024 mendatang. Para pendengung atau buzzer ramai-ramai menyematkan sebutan ’Nasdrun’ kepada parpol yang dipimpin Surya Paloh itu.
Kita memahami, bahwa ketidaksetujuan individu atau kelompok terhadap partai atau figur politik merupakan hal yang wajar dalam demokrasi. Tetapi, ketidaksetujuan tersebut semestinya diungkapkan dengan cara yang sehat seperti berargumen dan membantah atau mengkritik gagasan dan kebijakan yang tidak disepakati. Bukan dengan membuat cap atau label bernuansa rasis kepada pihak yang tidak disetujuinya.
Lalu, bagaimana mengantisipasi politisasi identitas agar tak terjadi polarisasi jelang Pemilu 2024? Apa sesungguhnya penyebab utama terjadinya polarisasi, apakah murni karena disebabkan minimnya jumlah kandidat atau karena ada yang mememelihara ‘tensi’ demi mengais rezeki (seperti buzzer) misalnya? Lalu, bagaimana cara menangkalnya? Dan, siapa saja yang mesti menginisiasi?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, di antaranya: Wasisto Raharjo Jati (Peneliti di Pusat Riset Politik – Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP – BRIN)), Fadli Ramadhanil (Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)), dan Abdul Fikri Faqih (Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS)/ wakil ketua komisi X DPR RI). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: