Semarang, Idola 92.6 FM – “Demokrasi bukanlah tujuan melainkan sarana untuk mencapai cita-cita bangsa.” Demikian Bung Hatta pernah bilang.
Namun, di negeri ini, demokrasi dinilai menjadi permainan kaum oligarki yang menguasai sumber daya atau kapital sehingga tidak memberi tempat kepada orang-orang dengan ideologi untuk memberi warna pada kebijakan negara.
Hal itu mengemuka dalam diskusi bertajuk ”Merumuskan Peta Jalan Konsolidasi Demokrasi 2045” yang diselenggarakan oleh LP3ES, baru-baru ini.
Dalam forum tersebut juga mengemuka, salah satu penyebab demokrasi menjadi mainan kaum oligark, di antaranya tidak ada jaminan kesejahteraan sosial bagi masyarakat yang dapat mendekatkan gap dari masyarakat kelas atas dan kelompok masyarakat miskin. Sepanjang masih ada gap tersebut, sekitar 30 juta warga miskin masih dapat dipengaruhi oleh politik uang.
Selain gap antara si miskin dan si kaya, oligarki juga bisa masuk di Modal Politik akibat tingginya biaya politik di Indonesia. Celah kedua ini dinilai membuka praktik ‘membeli kebijakan’. Jadi, oligarki tidak hanya masuk di masyarakat pemilih, tetapi terutama juga bisa masuk melalui para politisi.
Dengan asumsi seperti itu bahwa oligarki memanfaatkan kedua celah tadi, maka, bagaimana cara membendung agar Oligark tidak menjadi pemilik kedaulatan tertinggi di negeri ini?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, di antaranya: Prof Siti Zuhro (Peneliti Utama dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Indonesia), Fahri Hamzah (Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelora Indonesia), dan Aditya Perdana (Pengamat politik dari UI/Direktur Eksekutif ALGORITMA). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: