Semarang, Idola 92.6 FM – Sejak beberapa waktu lalu, Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) memperingatkan negara-negara bahwa konflik dan iklim akan menjadi pendorong utama di balik krisis pangan. Sehingga, FAO menyerukan pentingnya ketahanan serta lebih banyak upaya untuk perdamaian.
Menurut FAO, melonjaknya harga pangan global yang sebagian dipicu oleh konflik antara Rusia dan Ukraina memiliki “implikasi yang menghancurkan” bagi pasokan pangan dan nutrisi global terutama di negara-negara yang paling rentan.
Maka, kita cukup kaget, ketika baru-baru ini, Kepala Badan Pangan Nasional (BPN) Arif Prasetyo Adi mengungkapkan, cadangan pangan di Bulog dan BUMN Pangan sedang kritis. Pernyataan ini diungkapkan dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah bersama Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Senin (5/12) lalu.
Ia menjabarkan, cadangan bahan pangan yang dimiliki pemerintah saat ini hanya beras, gula pasir, daging kerbau, dan sedikit minyak goreng.
Itu pun, jumlahnya juga tipis. Secara rinci, beras yang dimiliki pemerintah adalah 515.119 ton. Padahal, kebutuhan bulanan nasional beras mencapai 2,5 juta ton. Artinya, pemerintah hanya memiliki cadangan sebesar 21 persen dari kebutuhan nasional.
Lalu, ketika Badan Pangan menyalakan alarm krisis pangan, apa saja langkah antisipasi yang bisa kita lakukan? Seberapa jauh kita bergantung pada supply dari luar? Mungkinkah, kita jadikan momentum ini untuk melakukan substitusi pangan?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber: Prof Dwi Andreas Santosa (Pengamat pangan/Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University), Jaka Widada (Akademisi/pengamat pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta), Arif Prasetyo Adi (Kepala Badan Pangan Nasional), dan Hermanto (Anggota Komisi IV DPR RI). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: