Semarang, Idola 92.6 FM – Hubungan RI dan Singapura memasuki babak baru. Indonesia mencapai kesepakatan baru dengan Singapura terkait perjanjian esktradisi, Pelayanan Ruang Udara atau Flight Information Region (FIR), dan Pertahanan. Penandatanganan dokumen kesepakatan dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong di Pulau Bintan, Kepulauan Riau, Selasa (25/01) kemarin.
Indonesia membutuhkan masa lobi selama 50 tahun hingga akhirnya memiliki perjanjian ekstradisi dengan Singapura. Perjanjian ekstradisi dirintis kedua negara sejak tahun 1972. Pembahasannya pun baru dimulai pada 2004 lalu.
Melalui perjanjian ekstradisi ini, kedua negara sepakat untuk melakukan ekstradisi bagi setiap orang-orang yang melakukan tindak pidana di wilayah hukum Indonesia ataupun Singapura. Perjanjian ini diharapkan dapat mempersempit ruang gerak pelaku tindak pidana di Indonesia dalam melarikan diri.
Selain perjanjian ekstradisi, Indonesia dan Singapura juga menyepakati pengambilalihan Flight Information Region (FIR). Flight Information Region merupakan suatu daerah dengan dimensi tertentu di mana pelayanan informasi penerbangan (flight information service) dan pelayanan kesiagaan (alerting service) diberikan.
Diketahui, masalah pengelolaan FIR Singapura di wilayah NKRI berawal pada tahun 1946, ketika International Civil Aviation Organization (ICAO) menyatakan bahwa Indonesia belum mampu mengatur lalu lintas udara di wilayah yang disebut sektor A, B, dan C. Oleh karenanya, sejak tahun 1946, sebagian FIR wilayah Barat Indonesia berada di bawah pengelolaan FIR Singapura, yakni meliputi Kepulauan Riau, Tanjungpinang, dan Natuna.
Kondisi ini membuat pesawat Indonesia harus melapor ke otoritas Singapura jika ingin melewati wilayah tersebut. Sejak lama, pemerintah menempuh berbagai upaya untuk mengambil alih FIR Natuna dari Singapura. Lewat pengambilalihan FIR ini, wilayah udara Kepulauan Riau dan Natuna yang sebelumnya masuk FIR Singapura akan menjadi bagian dari FIR Jakarta.
Lalu, apa sebenarnya faktor-faktor yang selama ini menjadi penghambat hubungan RI-Singapura, sehingga sampai harus menghabiskan masa lobi selama 50 tahun? Serta, apa saja keuntungan kedua belah pihak yang bisa dioptimalkan ke depan? Di sisi lain, apa pembeda yang membuat Singapura sekarang lebih kooperatif dalam ekstradisi maupun kontrol udara? Kenapa sejak dulu mereka tidak mau, dan baru sekarang bersedia?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber yakni: Dr. Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati (pengamat pertahanan dan intelijen); Boyamin Saiman (Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI)); dan Hikmahanto Juwana (Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia/ Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: