Semarang, Idola 92.6 FM – Setelah gagal merendam tingginya harga minyak goreng, pemerintah minggu lalu mengumumkan penyaluran bantuan langsung tunai (BLT) Minyak Goreng, untuk meringankan beban masyarakat. Bantuan langsung tunai ini akan menyasar sebanyak 20,5 juta warga miskin penerima Bantuan Pangan Non-Tunai dan Program Keluarga Harapan, serta 2,5 juta pedagang kaki lima penjual gorengan. Besarnya Rp100.000 per bulan, dan dibayarkan sekaligus di muka untuk tiga bulan pada bulan April hingga Juni 2022.
Merespons kebijakan BLT minyak goreng, sejumlah pihak menilai program ini positif karena menyasar keluarga miskin dan pedagang terdampak. Namun di sisi lain, kalangan ekonom menilai, persoalan minyak goreng tak bisa diselesaikan hanya dengan BLT, tetapi harus dengan perbaikan tata kelola dan penegakkan aturan yang tegas dari pemerintah.
Program BLT, menurut mereka bukan solusi yang tepat untuk mengatasi karut marut persoalan minyak goreng di Indonesia. Bahkan, program BLT minyak goreng justru akan semakin membuat minyak goreng curah semakin langka. Selain itu, rencana pemberian BLT minyak goreng kepada masyarakat itu hanya bersifat jangka pendek dan solusi instan sementara.
Lantas, menyorot kebijakan BLT Minyak Goreng, akan efektifkah menjadi solusi untuk mengatasi persoalan karut marut minyak goreng di masyarakat?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan narasumber, di antaranya: Rusli Abdullah (Ekonom/ Peneliti Peneliti Center of Food, Energy and Sustainable Development INDEF) dan Nevi Zuairina (Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PKS). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: