Semarang, Idola 92.6 FM – Socio-emotional Learning (SEL) menjadi bekal penting bagi siswa untuk menjadi sosok pribadi yang agile atau lincah. Sebab, perubahan kehidupan yang silih berganti dan tuntutan perubahan yang begitu cepat membutuhkan sikap adaptif. Namun, sayangnya SEL belum implementatif.
Hal itu mengemuka dalam talkshow Panggung Civil Society yang diselenggarakan radio Idola Semarang, Selasa (30/08) pagi di Hotel Quest Prime Jalan Pemuda Semarang. Hadir sebagai narasumber: Dekan Fakultas Psikologi Undip, Prof Dian Ratna Sawitri; Lektor Kepala (Ketua Program Studi S2) FIP-Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini Universitas Negeri Semarang (Unnes), Yuli Kurniawati Sugiyo Pranoto, Spsi, MA, DSc; dan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, Dr Uswatun Hasanah, SPd, MPd. Acara dipandu penyiar radio Idola Semarang, Nadia Ardiwinata.
Menurut Prof Dian Ratna Sawitri, sebuah komunitas tidak selamanya sama. Sehingga, seseorang membutuhkan kemampuan untuk aware akan emosionya sendiri. Kemudian, mengatur emosinya tersebut untuk memahami emosi orang lain dan orang-orang sekitarnya. Lalu, bagaiman ia menjalin hubungan dan mengambil keputusan-keputusan yang relevan dengan kebutuhan saat itu.
“Karena dunia berubah. Jadi, untuk memenuhi tugas-tugasnya sendiri seseorang itu butuh untuk agile atau fleksibel/ lincah,” kata Prof Sawitri.
Prof Sawitri menyontohkan, seseorang yang memiliki kemampuan SEL dan yang tidak. Ketika menghadapi situasi baru, orang dituntut, “not what to do, when you do know what to do” atau tahu apa yang harus dilakukan, ketika Anda tidak tahu apa yang harus dilakukan.
“Ketika ada pada situasi tersebut, dengan kemampuan SEL, kita bisa bersikap,” ujar Prof Sawitri di hadapan puluhan peserta.
SEL pada Tataran Praktik Masih Lemah
Sementara itu, Dr Uswatun Hasanah, SEL seharusnya secara de yure sudah terimplementasi dalam kurikulum dari waktu ke waktu. Namun, dalam tataran praktiknya yang masih lemah. Karena hanya berkutat pada sisi kognitif semata.
“Padahal, ketika peserta didik, anak-anak kami, sejak awal sudah dibekali pada tataran implementatif itu akan jauh lebih fighter. Memiliki daya juang. Sehingga, kita tidak lagi khawatir pada penurunan karakteristik anak atau degradasi moral,” kata Uswatun Hasanah.
Menurut Uswatun Hasanah, dengan memiliki bekal kemampuan SEL, anak-anak akan menjadi pribadi yang tahan banting. Ia bisa memahami potensi dalam dirinya dan memahami orang lain.
“Maka, dia akan membuka hatinya untuk bisa bekerja sama. Dan, apa yang menjadi pengalaman dari orang lain itu menguatkan dia untuk mengambil keputusan yang lebih bijak.
Lalu, siapa faktor kunci dalam penerapan SEL dan mesti dimulai dari mana? Menurut Uswatun Hasanah, guru menjadi kunci. SEL bisa diimplementasikan oleh guru di setiap kegiatan pembelajaran. Ia mencontohkan, biasakan guru mendengarkan para siswa dalam proses pembelajaran di ruang kelas. Guru tidak harus selalu berbicara di hadapan siswa.
“Mendengarkan ini bagian dari peta konsep dan proses memahami potensi anak. Sehingga, anak juga terbiasa mendengarkan gurunya,” ujarnya.
Pada kurikulum Merdeka ini, lanjut Uswatun Hasanah, konsep guru yang mendengarkan para peserta didiknya juga diperlukan. Karena guru akan semakin memahami peserta didik.
“Sekaligus, keteladanan adalah guru terbaik. Bagaimana di pembelajaran, di kelas, bisa diberikan sebuah contoh. Bagaimana menghargai orang lain, salah satunya, kebijakan dalam pengelolaan emosi atau pengendalian emosi,” tuturnya.
Sementara Yuli Kurniawati Sugiyo Pranoto menambahkan, di dalam social- emotional learning, ada komponen utama, yaitu self-awarness, social-awarness, self-management, relationship skill, dan responsible decision-making.
“Itu seperti tahapan. Nah, ketika siswa sudah memiliki self-awarness, setahap demi setahap, akan bertingkat. Kemudian, sampai pada tahapan, dia akan memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan untuk diri sendiri dan orang-orang di sekitarnya,” tandas Yuli Kurniawati. (her)