Seberapa Jauh Konsep Kampus Merdeka Mampu Memelihara Semangat Kebebasan Berpendapat?

Nadiem Makarim
foto/beritasatu
Ikuti Kami di Google News

Semarang, Idola 92.6 FM – Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan salah satu esensi demokrasi dan amanat reformasi. Kampus menjadi salah satu ruang bersemainya ide, gagasan, bahkan kritik konstruktif bagi berjalannya sistem kekuasaan negara yang menganut sistem demokrasi. Sebab, kritik adalah bahan bakar dalam sistem negara demokrasi.

Namun, idealitas itu kini tak seindah kenyataan. Contoh terkin, dan saat ini masih menjadi viral adalah dipanggilnya sejumlah pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI usai mengkritik Presiden Joko Widodo melalui meme, The King of Lip Service.

Publik pun seolah terbelah dalam menanggapinya. Antara yang mendukung dan yang mencelanya. Mereka yang kontra menilai, kritik itu kebablasan karena menghina simbol negara. Sementara bagi yang pro, mereka menilai, kampus semestinya tak boleh menjadi alat untuk membungkam kemerdekaan mahasiswa berpendapat. Otoritas perguruan tinggi mestinya tak mematikan daya kritis mahasiswa—karena mereka adalah calon pemimpin masa depan.

Polemik ini sesungguhnya kontras dengan kebijakan yang didesain Pemerintah melalui Kampus Merdeka. Sejumlah kalangan mempertanyakan jargon Kampus Merdeka yang didengung-dengungkan Pemerintah. Bahkan, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menilai konflik yang menimpa BEM UI membuktikan, program Kampus Merdeka yang dicanangkan Mendikbudristek hanya retorika. Sebab, seharusnya dengan Kampus Merdeka, Kemendikbudristek turut memastikan kemerdekaan berpendapat di kampus. Namun, hal itu tidak terbukti di lapangan.

Lantas, seberapa jauh konsep kampus merdeka mampu memelihara semangat kebebasan berpendapat? Bagiamana pula mendudukkan antara kritik dan penghinaan terhadap simbol negara?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber yakni: Ubaid Matraji (Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI)); Abdul Fikri Faqih (Wakil Ketua Komisi X DPR RI. Komisi X membidangi Pendidikan dan Kebudayaan, Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga, Perpustakaan dan Ekonomi Kreatif); dan Robertus Robet (Anggota Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA)). (her/yes/ao)

Dengarkan podcast diskusinya:

Artikel sebelumnyaMengenal Inovasi Alat Peraga Matematika untuk ABK bersama Sugiman, Dosen Matematika FMIPA UNNES
Artikel selanjutnyaRS Amino Rawat 47 ODGJ Terpapar COVID-19