Semarang, Idola 92.6 FM – Bukan maksudku mau berbagi nasib, hidup adalah kesunyian masing-masing. Demikian petilan sajak Pemberian Tahu karya Chairil Anwar yang termasyhur. Kini, di tengah Pandemi, sajak itu seolah terngiang-ngiang di benak. Jika Chairil Anwar masih hidup, mungkin petilan sajak itu akan berubah—hidup adalah kedaruratan masing-masing.
Di tengah Pandemi, kita dihadapkan pada banyak dilema sejak kasus corona pertama kali terkonfirmasi pada Maret tahun lalu. Dalam kaca mata pemerintah; di antara persoalan krisis kesehatan dan ekonomi. Di antara darurat Pandemi dan persoalan domestik warga.
Ibaratnya, kita tidak bisa marah kepada mereka yang masih harus keluar rumah untuk bekerja karena kebutuhan hidup. Kita juga tidak bisa iri kepada mereka yang bisa stay at home dengan nyamannya karena perjuangan tiap orang dalam masa Covid-19 ini tidaklah sama.
Di lain pihak. kita melihat, ada yang diberi kelebihan materi untuk bisa di rumah saja, dan ada pula yang terseok-seok dengan segala kesulitan untuk bertahan hidup jika hanya di rumah saja.
Maka, publik melalui media sosial pun bereaksi ketika muncul viral penertiban para pedagang yang melanggar aturan PPKM Darurat di Kota Semarang, Senin (6/7/2021) lalu. Mereka terbelah dalam dua opini. Ada yang mendukung langkah tegas aparat Satpol PP karena situasi memang darurat Pandemi–di mana kasus Covid-19 terus melonjak, rumah sakit penuh, dan ancaman krisis oksigen.
Namun, di sisi lain, mereka menilai, langkah penertiban dengan memakai Mobil Pemadam Kebakaran untuk menyemprot warung dan menyita beberapa barang dagang sebagai tindakan yang tidak manusiawi—karena pada dasarnya para pedagang juga menghadapi problem domestik yakni ekonomi keluarga.
Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi saat dimintai konfirmasi mengenai tindakan penertiban para pedagang yang tetap berjualan hingga malam dan melanggar aturan PPKM Darurat menyatakan, pihaknya juga berada dalam dilema. Meski demikian, ia menyatakan, ketegasan dilakukan juga demi keselamatan masyarakat.
“Harus paham yang sedang dilakukan di Jawa-Bali ini khususnya Kota Semarang adalah untuk kepentingan masyarakat juga. Ini bukan gaya-gayaan PPKM Darurat. Ini situasi yang memang lagi darurat,” kata Hendi, panggilan akrab wali kota saat diwawancara radio Idola Semarang, Kamis (8/7/2021).
Berkaca dari peristiwa itu, Hendrar Prihadi meminta meminta aparaturnya untuk tetap mengedepankan aspek humanis dalam menertibkan warga yang melanggar aturan protokol kesehatan—termasuk pada para pedagang dan kalangan UMKM.
“Kadang-kadang teman-teman Saptol PP karena sudah capek mereka tak pakai akal sehat. Jam 8 harus tutup. Itu penjelasan mereka. Nah, tapi ada aspek-aspek humanis yang memang harus kita kedepankan, terutama untuk bisa mengajak agar mereka lebih patuh pada peraturan wali kota,” ujar wali kota.
Di tengah situasi seperti saat ini, Dr. Arie Sudjito–Ketua Departemen Sosiologi FISIPOL UGM Yogyakarta menilai, pentingnya sistem komando yang tegas dalam membangun sense of emergency atau sense of crysis di tengah kita menghadapi Pandemi.
“Supaya tidak membuat keraguan dan memberi kepastian bahwa langkah-langkah ini benar, bisa dipertanggungjawabkan. dan ini harus solid di level pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Benturan sering kali terjadi karena sinyalnya tak sama, frekuensinya tak sama. Ini harus didisiplinkan. Dengan cara seperti itu, kredibilitas pemerintah cukup berharga di mata masyarakat,” kata Arie Sudjito dalam diskusi radio Idola bertema “Bagaimana Mendorong dan Meningkatkan Sense of Emergency atau Rasa Kedaruratan Semua Pihak di Tengah Pandemi,” Kamis (8/7/2021).
Yang tak kalah penting, di tengah budaya komunal, menurut Arie Sudjito, pentingnya partisipasi warga di tingkat komunitas dalam mengajak warga disiplin pada protokol kesehatan sekaligus membangun solidaritas di tengah situasi krisis kesehatan dan persoalan ekonomi.
“Tokoh-tokoh masyarakat, entah pemuda, tokoh agama, tokoh di komunitas masing-masing, seperti petani. Terus mengupayakan minimal di masing-masing komunitas, untuk disiplin menjaga prokes. Juga inisiatif untuk menangani korban Covid-19 secara lebih cepat. Ini yang saya sebut dengan kunci partisipasi,” ujar Arie Sudjito.
Sementara itu, dihadapkan pada dilema darurat penegakan protokol kesehatan Covid-19 dan darurat periuk nasi warga terdampak Pandemi, dalam diskusi yang sama, Yanuar Nugroho, Penasihat Centre for Innovation Policy & Governance dan Anggota Akademisi Ilmuwan Muda Indonesia menyatakan, penegakan protokol kesehatan sebagai upaya mengendalikan Pandemi harus tetap dilakukan. Di sisi lain, pemerintah mesti memberikan kompensasi bantuan sosial dan memastikan tepat sasaran.
“Ketika pembatasan atau PPKM dilakukan, maka bantuan sosial harus segera digelontorkan. Entah lewat kartu sembako, BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai), PKH (Program Keluarga Harapan), bantuan langsung tunai, dana desa, apapun namanya harus segera digelontorkan. Dan itu, yang paling tepat adalah memang harus bantuan yang sifatnya uang namun tidak cash. Jadi apa bentuknya? Kartu itu lho, mbak! Karena kalau cash nanti rawan dikorupsi. Dan itu Dimungkinkan diambil di ATM, dimungkinkan digunakan di warung-warung untuk mendongkrak perekonomian di tingkat lokal,” kata Yanuar Nugroho.
Menurut Yanuar yang juga Deputi II Kepala Staf Kepresidenan RI tahun 2015-2019, penerapan PPKM Darurat adalah satu sisi sebagai upaya memutus penularan Covid-19 dengan melakukan pembatasan mobilitas penduduk dan penegakan prokes. Namun, di sisi lain, pemerintah secara simultan harus memastikan perlindungan sosial bagi warga terdampak, memperkuat fasilitas kesehatan, dan insentif bagi tenaga medis juga diberikan.
“Jadi PPKM itu hanya satu sisi, saya ulangi. Sisi yang lain, adalah memastikan perlindungan sosial. Sisi yang lain lagi adalah memastikan bahwa fasilitas kesehatan diperkuat. Sekarang sudah keburu ambruk menurut saya di beberapa tempat. Ya, sudah, sekarang didayagunakan shelter-shelter komunitas, segala macam yang lain, gak papa,” tutur Yanuar Nugroho.
Di tengah berbagai upaya penanggulangan Pandemi melalui PPKM Darurat untuk menegakkan protokol kesehatan dan membatasi mobilitas penduduk, kita berharap semua pihak mendukung upaya pemerintah dalam upaya meningkatkan testing, tracing, dan treatment serta meningkatkan vaksinasi yang saat ini tengah berjalan.
Kita memahami situasi pandemi saat ini, ibarat pepatah, kita memang berada di badai yang sama, tapi tidak di sekoci yang sama. Biarlah masing-masing sekoci mencari jalan keluar dari badai ini. Berdoa dan berharaplah yang terbaik untuk setiap kapal, tanpa saling menghakimi.
Menyitir kembali sajak Chairil Anwar bahwa hidup adalah kesunyian masing-masing—bolehlah kita mengubahnya sebagai spirit solidaritas di antara dilema darurat Pandemi dan darurat periuk nasi. Nasib bolehlah kesunyian masing-masing, namun dalam kesunyian itu, mari kita tetap jaga nyala api solidaritas, bela rasa, agar kita tetap bisa berbagi nasib, meski kita berada dalam darurat masing-masing. (yes/ ao/ her)