Semarang, Idola 92,6 FM – Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) membuka ruang diskusi dalam wacana revisi UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Terutama terhadap pasal-pasal yang multitafsir, dan digunakan untuk memidanakan orang lain.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan ada beberapa pasal dari UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE yang memang multitafsir, dan bisa diartikan dalam banyak hal untuk memidanakan seseorang. Pernyataan itu dikatakannya di sela membuka Diskusi Publik RUU KUHP dan UU ITE di Hotel Gumaya Semarang, Kamis (4/3).
Edward menjelaskan, sudah diketahui publik bahwa Pasal 27 dan Pasal 28 serta Pasal 29 memang multitafsir dan telah banyak digunakan untuk memidanakan seseorang. Terutama, yang berkaitan dengan masalah pencemaran nama baik hingga penghinaan.
Menurutnya, pasal-pasal tersebut bisa dikatakan tidak memenuhi aspek-aspek hukum atau legalitas.
“Semangat awal UU ITE adalah untuk menjaga agar ruang digital Indonesia bersih, sehat dan beretika serta produktif. Kalau implementasinya memunculkan ketidakadilan, maka undang-undang ini perlu direvisi. Hapus pasal-pasal yang multitafsir, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak. Arahan presiden tersebut hendaklah kita jadikan sebagai momentum yang baik, untuk mengkaji kembali ketentuan yang terdapat dalam Pasal 27, 28 dan 29 UU ITE. Kemudian dihubungkan dalam ketentuan serupa di Pasal 310 sampai Pasal 321 KHUP,” kata Edward.
Lebih lanjut Edward menjelaskan, diskusi publik yang digelar untuk mengkaji UU ITE ini diharapkan bisa memunculkan solusi dan mencari akar permasalahannya. Yakni, persoalan dasarnya apakah karena implementasi dari pasal-pasal tersebut atau memang terdapat pasal karet yang harus diperbaiki melalui perubahan atau revisi UU ITE.
“Nantinya, UU ITE ini hanya mengatur mengenai alur informasi dan transaksi elektronik saja melalui teknologi dan informasinya. Sedangkan pidananya diatur dengan RUU KUHP,” pungkasnya. (Bud)