Ngobrol Seputar Kontroversi Roket SpaceX Elon Musk dan Kisah Penerbangan Internasional di Biak bersama Arkeolog Hari Suroto

Pernah Memiliki Penerbangan Internasional

Hari menambahkan, merujuk pada sejarah masa lalu, Biak pernah memiliki bandara yang melayani penerbangan internasional dengan rute Biak ke Australia, Tokyo, Papua Nugini, Amsterdam, Los Angeles, Seattle dan Honolulu.

Kala itu, lanjut Hari, Pemerintah Belanda dengan bantuan investasi maskapai KLM, pada 14 Juli 1955 mendirikan maskapai penerbangan bernama Nederlands Niew Guinea Luchtvaart Maatschapij dikenal juga sebagai Kroonduif atau De Kroonduif. Kroonduif merupakan bahasa Belanda untuk burung mambruk. Burung mambruk ini dikenal juga merpati bermahkota yang hanya dijumpai di Papua.

“Kroonduif ini juga yang menjadi cikal bakal maskapai Merpati Nusantara, yang saat ini sudah tidak terbang lagi,” ungkapnya.

Lalu, Belanda menjadikan Bandara Mokmer sebagai pusat operasional Kroonduif. Pada awal penerbangannya Kroonduif menggunakan pesawat Lockheed Constellation dengan rute Bandara Mokmer Biak – Sydney. Sedangkan untuk rute di wilayah Papua, Kroonduif menggunakan pesawat amfibi atau Sea Beaver yang mampu mendarat di pantai serta danau di pedalaman Papua.

Kemudian Kroonduif pada 1956 menambah pesawat de Havilland DHC-2 Beaver, untuk melayani penerbangan Biak tujuan Sentani dan Sorong serta kota-kota di Papua Nugini. Pada 1960, Kroonduif melayani penerbangan Biak-Tokyo-Amsterdam.

Setelah penyerahan Irian Barat ke Indonesia, Bandara Mokmer diubah namanya menjadi Bandara Frans Kaisiepo. “Bandara ini memiliki luas 206 hektar dengan landasan pacu 3.570 meter dan lebar landasan 45 meter,” tutur Hari.

Pada 1996-1998, Garuda Indonesia melayani penerbangan Jakarta-Denpasar-Biak-Honolulu-Los Angeles dengan pesawat MD-11. Selain itu, Garuda Indonesia juga melayani rute Jakarta-Denpasar-Biak-Seattle. “Namun, rute internasional ini berhenti karena krisis ekonomi,” jelas Hari.

Selengkapnya mengenai Kontroversi Roket SpaceX Elon Musk dan Kisah Penerbangan Internasional di Biak berikut ini wawancara radio Idola Semarang bersama Hari Suroto, arkeolog dari Balai Arkeologi Papua.(har/yes/her)

Dengarkan podcast wawancaranya:

Ikuti Kami di Google News
1
2
Artikel sebelumnyaOJK Jateng Imbau Masyarakat Hati-hati Tawaran Investasi Bodong di Masa Pandemi
Artikel selanjutnyaMenyongsong Sekolah Tatap Muka: Kesiapan Apa Saja yang Mesti Dipenuhi?