Semarang, Idola 92.6 FM – Pemilu 2024 masih lebih dari dua tahun lagi. Namun, sejumlah tokoh, sudah mematut diri dan memoles citra dengan harapan layak dicalonkan sebagai presiden atau wakil presiden pada Pemilu nanti.
Untuk itu, sejumlah politisi pun mulai bersolek citra diri melalui medium spanduk, media massa hingga baliho-baliho yang dipajang di seantero negeri. Hal itu dilakukan demi mengerek popularitas hingga elektabilitas mereka di mata rakyat.
Salah satu sosok yang mendapat sorotan publik adalah politikus PDIP Puan Maharani yang menyebar banyak baliho begitu kolosal hingga ke lokasi bencana. Jadi, ketika warga sedang dirundung duka akibat awan panas Gunung Semeru wajah di foto justru, “tebar pesona”.
Tak tanggung-tanggung, sejumlah baliho Ketua DPR RI itu terpasang di sekitar desa terdampak awan panas Gunung Semeru, Lumajang, Jawa Timur. Baliho itu bergambar potret diri Puan dengan latar foto para pengungsi. Selain itu ada pula logo ‘Relawan Puan Maharani’ dilengkapi kalimat penyemangat. “Tangismu, tangisku. Ceriamu, ceriaku. Saatnya bangkit menatap masa depan,” begitu bunyi tulisan dalam baliho Puan.
Maka, sebagai tujuan komunikasi, apakah model pendekatan seperti itu cukup efektif menarik simpati, atau malah menuai antipati? Di tengah-tengah masyarakat sedang susah.. apakah komunikasi seperti itu akan diperhatikan orang? Lalu, secara umum, bagaimana dengan billboard yang secara masif ditampilkan di banyak wilayah?
Di sisi lain, kenapa parpol kita sangat jarang melakukan kerja-kerja kemanusiaan? Pada saat terjadinya bencana awan panas di gunung Semeru, kenapa hal itu tidak dijadikan sebagai “panggung” untuk men-display kepedulian? Kenapa partai hanya sebatas mengupayakan political marketing, guna mendulang suara ketimbang melakukan political empowerment yang memberdayakan warga bangsa?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber yakni: Gun Gun Heryanto (Direktur Eksekutif The Political Literacy/ Pakar Komunikasi Politik Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta); Prof Firman Noor (Peneliti Senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)); dan Asrinaldi (Pengamat politik dari Universitas Andalas Padang). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: