Semarang, Idola 92.6 FM – Universitas Negeri Jakarta (UNJ) berencana memberikan gelar doktor kehormatan atau doctor honoris causa kepada Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir.
Namun, rencana itu mendapat penolakan dari Presidium Aliansi Dosen Universitas Negeri Jakarta. Anggota aliansi dosen UNJ, Ubedilah Badrun mengatakan, upaya pemberian gelar doktor honoris causa pada pejabat sudah ditolak pada September 2020 lalu.
Penolakan ini dilakukan demi menjaga integritas UNJ. Sebab, pemberian gelar doktor honoris causa kepada pejabat yang tidak memiliki kontribusi dan karya akademik, dinilai merupakan pelecehan terhadap integritas dan marwah perguruan tinggi.
Gelar doctor kehormatan atau doktor honoris causa merupakan gelar kesarjanaan yang diberikan oleh suatu perguruan tinggi atau universitas yang memenuhi syarat kepada seseorang, tanpa orang tersebut perlu untuk mengikuti dan lulus dari pendidikan yang sesuai untuk mendapatkan gelar kesarjanaannya tersebut. Gelar kehormatan diberikan oleh suatu Perguruan Tinggi kepada seseorang yang dianggap berjasa dan atau berkarya luar biasa bagi ilmu pengetahuan dan umat manusia.
Kita ketahui, dalam beberapa tahun terakhir, muncul fenomena sejumlah kampus seolah “mengobral” gelar doktor kehormatan kepada para politikus dan pejabat. Seleksi pemberian gelar tersebut pun dinilai tak transparan. Diduga ada motif politik di balik penganugerahan titel itu. Di sisi lain, sejumlah pejabat juga terkesan memanfaatkan situasi ini untuk berburu gelar di kampus-kampus.
Lantas, berkaca dari kasus rencana pemberian gelar kehormatan bagi Wapres Ma’ruf Amin dan Menteri BUMN Erick Thohir yang mendapat penolakan; apa buruknya pemberian gelar kehormatan sehingga sampai ditentang? Apa pentingnya bagi pihak pemberi maupun pihak yang menerima?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Ubedilah Badrun (Anggota Presidium Aliansi Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ)); Dr Herlambang Wiratraman (pendiri Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA)/ dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta; dan Dr. Saifur Rohman (Ahli filsafat dan Budayawan dari Universitas Negeri Jakarta). (her/ yes/ ao)
Dengarkan podcast diskusinya: