Semarang, Idola 92.6 FM – Salah satu mesin ekonomi nasional kita yang terbesar adalah konsumsi rumah tangga. Ia bahkan menyumbang hinga 60 persen pertumbuhan ekonomi nasional.

Konsumsi berkait erat dengan pembiayaan, dalam hal ini suku bunga kredit bank. Sehingga, secara sederhana bisa digambarkan, ketika bunga kredit rendah, konsumsi akan terdongkrak.

Begitu juga sebaliknya, pada saat bunga kredit bank sangat tingi, maka konsumsi akan berkurang. Sehingga, untuk mengakselerasi pemulihan ekonomi, maka idealnya suku bunga kredit bank berada di tingkat yang lebih ramah. Sehingga, mampu mendorong terjadinya pergerakan.

Akan tetapi, pada kenyataannya, sampai hari ini, hal itu belum terjadi. Meski Bank Indonesia (BI) telah beberapa kali menurunkan suku bunga acuan, namun penurunan itu tidak juga diikuti turunnya suku bunga kredit bank.

Suku Bunga

Pemerintah mengakui, hingga saat ini bunga kredit perbankan masih tinggi dan tidak mencerminkan suku bunga acuan BI yang telah turun ke level terendah di 3,5 persen. Dikhawatirkan jika suku bunga kredit perbankan tak kunjung turun, masyarakat bakal enggan mengambil kredit mobil dan rumah, meski diberi ‘diskon’ lewat kebijakan Pembebasan Pungutan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Selain itu, kita juga dihadapkan pada problem, penyaluran kredit terkontraksi 2,41% pada tahun lalu—ini merupakan kontraksi pertama sejak krisis moneter 1998. Selain itu, terjadi fenomena credit crunch atau keengganan perbankan menyalurkan kredit.

Atas situasi ini, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam waktu dekat, akan membentuk suatu upaya bersama untuk menciptakan tingkat suku bunga yang efisien di pasar keuangan untuk memacu penyaluran kredit perbankan demi mempercepat pemulihan ekonomi.

Lantas, mengurai problem sulitnya menurunkan suku bunga kredit bank, langkah-langkah apa yang bisa ditempuh? Apa sesungguhnya faktor yang membuat pihak bank “keberatan” untuk mengikuti suku bunga acuan yang diturunkan Bank Indonesia (BI)?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Mohammad Faisal (Direktur Eksekutif CORE Indonesia; Aviliani (Ekonom Senior INDEF); dan Roy N. Mandey (Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO)). (her/ andi odang)

Dengarkan podcast diskusinya:

Ikuti Kami di Google News
Artikel sebelumnyaDinas Koperasi dan UMKM Jateng Bakal Arahkan UKM Bentuk Korporatisasi
Artikel selanjutnyaNgobrol Bareng Samuel Dimitri Widjatmoko, Peneliti Muda Asal Semarang