Semarang, Idola 92.6 FM – Pemerintahan Presiden Joko Widodo, sejak periode pertamanya, salah satu program prioritasnya adalah pembangunan infrastruktur fisik. Maka, kita melihat begitu masihnya pembangunan jalan tol terutama di Pulau Jawa, bahkan hingga ke luar Jawa. Tak cukup hanya itu, Presiden pun membenahi pelabuhan-pelabuhan, dan membangun bandara-bandara. Bahkan, yang cukup prestisius adalah program tol laut, sebagai upaya menekan tinggi cost biaya lintas pulau—terutama jika ke wilayah Indonesia bagian Timur.
Itu semua dilakukan oleh presiden dengan niat baik untuk mengurangi tingginya biaya logistik yang menjadi salah satu faktor rendahnya daya saing kita dibanding negara-negara lain di Asia Tenggara.
Namun, hingga memasuki tahun kedua di periode keduanya, cita-cita mulia yang diimpikan Presiden seolah masih jauh dari harapan. Artinya, pembangunan infrastruktur fisik memang masif dilakukan namun, ternyata belum sebanding dengan dampaknya. Bahkan, oleh sebagian kalangan dinilai masih belum efektif menekan tingginya biaya logistik atau ekonomi berbiaya tinggi.
Mereka menilai, pembangunan yang hanya menekanan pada infrastruktur fisik, justru tak cuma mahal namun juga keliru resep. Sebab, persoalan logistik, bukan hanya soal fisik jalan, bandara, atau pelabuhan. Namun, yang pertama dan utama adalah soal manajemen, termasuk soal birokrat korup.
Sejumlah, importir dan eksportir masih mengeluhkan biaya tambahan agen kargo di luar pelabuhan. Pungutan berlapis itu nilainya hampir 30 persen dari tarif resmi. Dan, praktik biaya siluman ini sudah berjalan hampir dua tahun. Sehinga, biaya tambahan di luar pelabuhan membuat biaya logistik tak efisien. Tercatat, porsi biaya logistik di Indonesia mencapai 23 persen dari PDB.
Lantas, mengurai masih tingginya biaya logitik; apa pokok pangkal persoalannya? Kenapa meskipun pembangunan infrastruktur fisik begitu masif dilakukan oleh Pemerintahan Presiden Jokowi namun, hingga kini belum efektif menekan tingginya biaya logistik?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Eko Listiyanto (Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)); Sanny Iskandar (Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri (HKI) yang juga wakil ketua umum Kadin Indonesia dan Apindo Nasional); dan Dr Syahrul Aidi Maazat (Anggota Komisi V DPR RI). (her/ yes/ ao)
Dengarkan podcast diskusinya: