Semarang, Idola 92.6 FM-Persoalan serapan anggaran yang minim telah menjadi kendala penanganan pandemi Covid-19 belakangan ini. Hal yang semestinya tak terjadi di tengah kondisi darurat yang membutuhkan gerak cepat setiap lini.
Hal itu dikemukakan Presiden Joko Widodo saat memberikan pengarahan kepada kepala daerah seluruh Indonesia belum lama ini. Presiden menuturkan bahwa kepemimpinan lapangan yang kuat dibutuhkan untuk menghadapi pandemi Covid-19 yakni kepemimpinan yang paham lapangan, dapat bergerak cepat, serta responsif. Salah satunya percepatan bantuan sosial dan belanja daerah.
Apa yang didamba dan diidealkan Presiden tersebut, ternyata masih jauh panggang daripada api, masih belum seindah realitanya. Banyak serapan anggaran yang macet di kas daerah. Misalnya, alokasi anggaran untuk UMKM.
Dari total anggaran sebesar Rp13,3 triliun untuk semua daerah, baru dipakai Rp2,3 triliun. Kemudian, anggaran perlindungan sosial sebesar Rp12,1 triliun, realisasinya juga baru Rp2,3 triliun. Lalu, total dana desa Rp72 triliun dan sebanyak Rp28 triliun untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) Desa, tetapi realisasinya baru Rp5,6 triliun. Realisasi ke semua hal itu tak sampai seperempat total dana.
Lantas, di tengah lonjakan kasus Covid-19 yang tinggi, perekonomian masyarakat, dan usaha kecil terjepit oleh kebijakan pembatasan mobilitas namun banyak pemerintah daerah yang alih-alih segera membelanjakan anggaran penanganan Covid-19, malah banyak yang memarkirkan dananya di bank? Apa pertimbangan utamanya? Di sisi lain, benarkah ini karena rendahnya sense of crisis (peka krisis) dan sense of urgency (peka terhadap keharusan penting yang mendesak)?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber yakni: Nunung Nuryartono (Guru Besar dan Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University); Johardi (Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Tegal); dan Guspardi Gaus (Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PAN). (her/ yes/ ao)
Simak podcast diskusinya: