Semarang, Idola 92.6 FM – Setelah sempat mendapat penolakan dari kelompok masyarakat mulai dari mahasiswa, civil society, serta elemen buruh—dan kemudian disahkan sebagai Undang-undang pada 5 Oktober 2020 lalu, Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja atau UU Ciptaker kini sampai pada babak baru. Di mana Mahkamah Konstitusi menolak sebagian gugatan UU Ciptaker yang diajukan sejumlah elemen buruh.
Namun, satu poin yang mendapat perhatian publik, MK memerintahkan pemerintah dan DPR untuk memperbaiki UU Ciptaker dalam jangka waktu dua tahun ke depan. Dalam putusan yang dibacakan Kamis (25/11) kemarin, MK menyatakan, UU Ciptaker bertentangan dengan konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, juga dinilai tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
Apabila dalam ketentuan waktu (dua tahun) itu tidak menyelesaikan perbaikan, maka UU Ciptaker menjadi inkonstitusional secara permanen. MK juga bakal menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta menghentikan penerbitan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Ciptaker.
Kalangan buruh memaknai bahwa UU Ciptaker yang selama ini berlaku “inskonstitusional”. Sementara YLBHI bersama 17 LBH se-Indonesia menilai, bahwa pemerintah dan DPR telah terbukti salah dan melanggar konstitusi usai MK memutuskan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat. Menurut mereka, seharusnya MK membuat putusan dengan menyatakan “Batal” saja sehingga tidak membuat bingung dan mentoleransi pelanggaran.
Dalam pertimbangan putusan sidang, MK menilai proses pembentukan UU Ciptaker tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan cacat formil. Selain itu, untuk menghindari ketidakpastian hukum dan dampak lebih besar yang ditimbulkan, Mahkamah menilai UU Ciptaker harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat.
Lantas, apa sih artinya Putusan MK yang menolak gugatan, tetapi mendesak pihak pembentuk Undang-Undang untuk memperbaikinya paling lambat 2 tahun? Lalu, perbaikan apa saja yang dimaksud? Dan, apa implikasi putusan MK yang menyatakan bahwa “UU Sapu Jagad” itu inkonstitusional secara bersyarat?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber: Dr. Margarito Kamis (Pakar Hukum Tata Negara); Muhammad Isnur (Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)); dan Johan Budi SP (Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai PDI Perjuangan). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: