Membaca Arah Masuknya PAN dalam Gerbong Koalisi Pendukung Pemerintah

PAN
PAN

Semarang, Idola 92.6 FM – Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu mengumpulkan ketua umum dan Sekjen parpol koalisi pendukung pemerintah di Istana Merdeka, Jakarta. Namun, ada yang tak biasa dalam pertemuan rutin yang biasa dilakukan Presiden bersama Pimpinan partai-partai koalisi pendukung Pemerintah itu.

Jika biasanya pertemuan hanya diikuti enam partai politik anggota koalisi, kali ini diikuti tujuh parpol. Satu parpol tambahan itu yakni Partai Amanat Nasional (PAN). Dengan kata lain, PAN menjadi anggota baru koalisi.

Menurut Sekjen Partai Nasdem Johnny Plate, bergabungnya PAN diharapkan semakin memperkuat dan memperkaya gagasan dan pandangan serta ide-ide baru dalam rangka melanjutkan pemerintahan dan mengisi demokrasi Indonesia.

Bergabungnya PAN ke dalam koalisi, semakin menambah “gemuk” gerbong barisan partai politik pendukung pemerintahan. Ibarat timbangan akan kelihatan njomplang. Tujuh dari sembilan partai di parlemen kini menjadi pendukung pemerintah. Dilihat dari komposisi kepemilikan kursi di parlemen, mereka menguasai 471 dari 575 total kursi atau 81,91 persen suara di DPR. Barisan partai oposisi kini hanya menyisakan PKS dan Partai Demokrat.

Sejumlah pihak menilai, begitu dominannya parpol koalisi pendukung pemerintah—mengkhawatirkan. Salah satunya, hal itu akan memunculkan kekuasaan absolut yang ujung-ujungnya rentan pada korupsi—seperti adagium Lord Acton: “Power tends to corrupt and the absolutely power tends to corrupt absolutely.”

Lantas, ketika jumlah perbandingan koalisi dan oposisi tak sebanding, PAN malah merapat ke kubu koalisi pendukung Pemerintah; adakah kebermanfaatan bagi publik? Lalu, apa tujuan populisnya? Benarkah, hanya sekadar untuk memuluskan rencana amendemen konstitusi?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Hendri Satrio (Pengamat Komunikasi Politik/Pendiri Lembaga Survei KedaiKOPI); Aditya Perdana (Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia); dan Ujang Komarudin (Direktur Eksekutif Indonesia Political Review/Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia). (her/ yes/ ao)

Dengarkan podcast diskusinya:

Ikuti Kami di Google News
Artikel sebelumnyaLewat Satriya Sancaya Karyadhika, Ditjen Pemasyarakatan Persiapkan Petugas Lapas Berkompeten
Artikel selanjutnyaHari Pertama PTM Masih Berjalan Lancar