Semarang, Idola 92.6 FM – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) beberapa waktu lalu mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) menjadi Undang-Undang. UU HPP diharapkan menjadi komponen penting dalam reformasi perpajakan, terutama dalam menuju sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel.
UU ini memuat enam kelompok materi utama yang terdiri dari 9 BAB dan 19 Pasal. Ada beberapa ketentuan baru yang diatur di dalamnya, mulai dari kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Karbon, sampai Tax Amnesty (pengampunan pajak) Jilid II. Dalam Bab IV tentang PPN, tarif PPN 11 persen mulai berlaku 1 April 2022 dan tarif 12 persen mulai berlaku 1 Januari 2025. Program tax amnesty jilid II juga akan diberlakukan mulai tahun depan. Kemudian, yang cukup menyita perhatian publik, adanya aturan penggunaan NIK KTP sebagai NPWP yang dinilai bakal paling sulit diterapkan.
Menurut Menkeu Sri Mulyani, UU HPP yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari reformasi perpajakan juga ditujukan untuk meningkatkan tax ratio dan kepatuhan pajak agar menjadi lebih baik. Melalui reformasi perpajakan juga diharapkan dapat mewujudkan keadilan serta lebih memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan.
Lantas, bagaimana menyinkronkan antara politik dan teknokratik dalam sistem perpajakan yang berkeadilan? Apakah sekali dayung, rencana ini bisa meningkatkan tax ratio kita yang masih lemah? Benarkah, tax amnesty akan diberlakukan lagi tahun depan? Apa novelty atau kebaruan yang membedakan dengan tax amnesty yang lalu?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Yustinus Prastowo (Staf Khusus Menteri Keuangan RI); Yusuf Rendy Manilet (Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia); dan Adhi S Lukman (Pengusaha/ Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI)). (her/ yes/ ao)
Dengarkan podcast diskusinya: