Semarang, Idola 92.6 FM – Penghargaan Nobel Perdamaian tahun ini cukup mengejutkan. Seperti halnya, penganugerahan tahun-tahun sebelumnya. Selalu ada kejutan mengenai siapa penerimanya.
Tahun ini, Nobel Perdamaian dianugerahkan kepada dua jurnalis asal Filipina dan Rusia, Maria Ressa (pendiri Rappler) dan Dmitry Muratov (pendiri Novaya Gazeta). Penghargaan prestisius ini seolah menjadi nyala api bagi pers dunia, termasuk di Indonesia.
Publik seakan kembali diingatkan tentang arti penting jurnalisme dalam menjaga demokrasi serta terwujudnya dunia yang lebih damai. Nyala pers yang seakan telah redup tertutup banjir informasi kini menjadi terang benderang.
Dalam masa di mana media masa kian tergerus oleh media alternative, “dunia” mengakui dan menghargai peran pers melalui penghargaan bergengsi ini. Padahal kita tahu, media alternatif banyak dijejali dis-informasi yang kalau tak teliti, bisa menghancurkan ikatan persaudaraan antar manusia.
Maka, dapatkah penghargaan nobel perdamaian ini menjadi momentum kebangkitan pers? Lalu, bagaimana pers (terutama di tanah air) mesti mengkapitalisasi penghargaan nobel itu sebagai pemicu kebangkitan kembali (revive?)
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Ninok Leksono (Editor Senior di Harian Kompas); Agus Sudibyo (Anggota Dewan Pers); dan Triyono Lukmantoro (Pengamat Media dan Masyarakat Universitas Diponegoro Semarang). (her/ yes/ ao)
Dengarkan podcast diskusinya: