Semarang, Idola 92.6 FM – Dalam dunia hukum, ada dua penyelesaian kasus hukum. Pertama, melalui jalur yudisial atau pengadilan, dan kedua, melalui nonyudisial atau keadilan restoratif (restoratif justice). Restoratif justice merupakan penyelesaian kasus melalui musyawarah untuk penyelesaianya—bisa melalui damai, adat, maupun mediasi.
Kalau sebelumnya, paradigma penyelesaian kasus hukum condong melalui yudisial, kini mulai terjadi pergeseran ke arah jalur non yudisial atau restoratif justice, apalagi jika menghadapi kasus-kasus hukum atau pidana ringan.
Baru-baru ini, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menggelar survei “Pandangan Masyarakat terhadap Hak Memperoleh Keadilan di Indonesia”. Hasilnya menunjukkan, sebanyak 85,2 persen responden setuju penanganan pidana ringan diatasi dengan keadilan restoratif. Tercatat,hanya 9,7 persen publik yang menolaknya.
Selain itu, sebanyak 73,1 persen responden menyatakan menempuh jalur nonyudisial (melalui jalan damai, adat, dan mediasi) jika berhadapan dengan hukum. Tercatat, hanya 26,9 persen yang akan menempuh jalur yudisial.
Lantas, benarkah telah terjadi pergeseran paradigma: masyarakat lebih memilih “Restoratif Justice” daripada pendekatan yudisial? Apa faktor penyebabnya? Lalu, apa artinya pergeseran paradigma dari yudisial ke restoratif justice? Dan, apa implikasinya?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber yakni: Azmi Syahputra (Dosen hukum pidana Universitas Trisakti Jakarta/ Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia (ALPHA)); Beka Ulung Hapsara (Komisioner Komnas HAM); dan Prof Esmi Warassih Pudjirahayu (Pakar Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang). (her/yes/ao)
Simak podcast diskusinya: