Semarang, Idola 92.6 FM – Bias konfirmasi (confirmations bias) adalah induk semua kesalahpahaman. Bias ini adalah kecenderungan untuk menafsirkan informasi baru menjadi selaras dengan teori, kepercayaan, dan keyakinan yang sudah ada. Dengan kata lain, kita membuang semua informasi baru yang bertentangan dengan pandangan kita sendiri (“bukti yang membatalkan”).
Ini adalah praktik yang berbahaya. Mengapa? Karena, “Fakta tidak akan dapat berhenti ada, hanya karena diabaikan.” Meski begitu, kita bertindak persis seperti yang disampaikan oleh Warren Buffett, “Hal yang paling dikuasai manusia adalah menafsirkan semua informasi baru sedemikian rupa sehingga kesimpulan yang sudah mereka miliki, tetap utuh.”
Orang cenderung secara tidak sadar memilih informasi yang mendukung pandangan mereka, dan mengabaikan informasi yang tidak mendukung. Orang juga cenderung menafsirkan bukti yang ambigu sebagai pendukung keyakinan mereka saat ini padahal bukti yang sama juga bisa berarti sebaliknya, yaitu membatalkan keyakinannya.
Fenomena tersebut akhir-akhir ini juga marak kita jumpai di media sosial. Salah satunya, kasus penganiayaan terhadap tersangka penista agama M Kace yang dilakukan oleh Irjen Pol Napoleon Bonaparte yang juga terdakwa kasus korupsi Djoko Tjandra. Tak hanya soal kasus pidana yang tengah ditangani polisi, peristiwa itu kemudian dinarasikan di media sosial yang memicu kegaduhan. Bahkan, memunculkan polarisasi di antara yang mendukung Napoleon dan di pihak lain mendukung M Kace.
Lalu, kenapa sentimen-sentimen yang berbau agama seolah kita biarkan bertebaran memenuhi lini masa? Apa yang mestinya dilakukan agar sentimen-sentimen keagamaan tidak menggerus rasa persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa? Jika bias konfirmasi adalah induk bagi semua kesalahpahaman, maka bagaimana mengantisipasi ancaman “perangkap” bias konfirmasi di ruang medsos?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Soeprapto (Kriminolog dari Yogyakarta); Dr Saifur Rohman (Ahli filsafat dan Budayawan dari Universitas Negeri Jakarta); dan Halili Hasan (Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta/ Direktur Riset Setara Institute). (her/ yes/ ao)
Dengarkan podcast diskusinya: