Semarang, Idola 92.6 FM – Di tengah kita sedang berjibaku menghadapi Pandemi, baru-baru ini publik dihebohkan dengan aksi “filantropis” yang dilakukan pengusaha Akidi Tio di Sumatera Selatan. Anak bungsu Akidi Tio Heriyanti secara simbolis memberikan plakat bantuan Rp2 triliun kepada Kapolda Sumsel Irjen Eko Indra Heri. Sumbangan itu rencananya akan diperuntukkan bagi penanganan Covid-19. Dilihat dari nominalnya, jumlah bantuan itu sungguh fantastis. Sebuah jumlah yang sangat besar untuk ukuran bantuan sosial dari pengusaha.
Namun, alih-alih, bantuan itu sampai di tangan warga hingga beberapa hari kemudian sejak 26 Juli lalu, ternyata wujud dari uang Rp2 triliun itu masih “fiktif”, entah di mana—antara ada dan tidak ada. Belum pernah terlihat secara fisik atau ditransfer kepada Kapolda Sumsel–selaku pihak yang diberi kewenangan keluarga Akidi, hingga saat ini.
Kasus ini mengingatkan kita pada kisah Presiden Sukarno yang juga pernah ditipu oleh dua orang yang mengaku raja dan ratu beberapa puluh tahun silam. Pada tahun 1950-an, Bung Karno menerima orang yang mengaku sebagai Raja Idris dan Ratu Markonah. Mereka mengeklaim diri sebagai raja dan ratu dari suku Anak Dalam di wilayah Lampung. Saat itu, Bung Karno Soekarno mudah percaya karena “raja” dan “ratu” itu berniat menyumbang harta benda mereka untuk merebut Irian Barat dari kekuasaan Belanda. Tak ayal, niat keduanya pun disorot sejumlah media massa. Bahkan, keduanya juga diundang Bung Karno ke Istana Merdeka.
Namun, selang beberapa waktu kemudian, identitas asli Raja Idrus dan Ratu Markonah pun terungkap. Raja Idris ternyata adalah pengayuh becak, sementara Ratu Markonah adalah pelacur kelas bawah di Tegal, Jawa Tengah. Para pejabat waktu itu terkibuli secara sistematis yang sekaligus berarti, dua orang telah melecehkan daya nalar pejabat kita ketika itu.
Kembali ke kasus Akidi, perkembangan terkini, anak bungsu pengusaha Akidi Tio–Heriyanti ditetapkan sebagai tersangka dengan pasal penghinaan negara dan penyiaran berita tidak pasti. Penyidik juga masih mendalami motif yang melatarbelakangi Heryanti melakukan hal tersebut.
Atas kasus ini, sejumlah pihak juga menyoroti begitu mudahnya pejabat negara seolah tertipu karena begitu mudahnya memercayai pihak-pihak tertentu berbalut program sosial. Jauh sebelumnya mestinya bisa dideteksi, kalau sumbangan itu benar atau tidak, dilihat dari riwayat transaksi usahanya? Sebab, bukankah, tidak mungkin ada, orang yang punya kemampuan menyumbang triliun rupiah tapi tidak diketahui usaha hariannya?
Lantas, memaknai heboh bantuan fiktif Rp2 triliun oleh Akidi Tio, apakah kasus Akidi ini menunjukkan bahwa kita belum juga mengaktifkan akal sehat? Bagaimana mestinya cara kita menghindari tipuan-tipuan serupa?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, kami nanti akan berdiskusi dengan beberapa narasumber yakni: Dr. Saifur Rohman (Ahli filsafat dan Budayawan dari Universitas Negeri Jakarta); Roy Suryo (Menteri Pemuda dan Olahraga dalam Kabinet Indonesia Bersatu II/ periode 2013-2014 dan pakar telematika); dan Mardani Ali Sera (Anggota Komisi II DPR RI/ Ketua DPP PKS). (her/ yes/ ao)
Dengarkan podcast diskusinya: