Bagaimana Memutus Mata Rantai Kekerasan Seksual pada Anak di Lingkungan Pendidikan Berbasis Agama?

Ilustrasi Kekerasan pada anak
ilustrasi/istimewa
Ikuti Kami di Google News

Semarang, Idola 92.6 FM – Lembaga pendidikan pesantren dalam sejarah Nusantara memegang peran penting dalam mempraktikan community-based learning atau Pembelajaran Berbasis Masyarakat. Pesantren juga turut andil besar dalam revolusi fisik menuju Kemerdekaan Republik Indonesia.

Namun, kini, lembaga pesantren mendapat sorotan publik. Dalam beberapa waktu terakhir, dugaan kasus kekerasan seksual di lingkungan pesantren menyeruak ke permukaan. Sejumlah kasus pelecehan seksual yang dilakukan pengasuh hingga pemilik pondok pesantren terhadap santrinya terjadi di berbagai wilayah. Pesantren yang seharusnya menjadi tempat aman dan nyaman menimbal ilmu bagi para santri, justru dimanfaatkan pengasuh melakukan kekerasan seksual kepada para santriwati.

Kasus yang terungkap baru-baru ini terjadi di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah yakni Bandung, Tasikmalaya, dan Cilacap. Salah satu yang menyita perhatian publik adalah terungkapnya kasus kekerasan seksual yang dilakukan HW–pemimpin sekaligus guru pesantren di Kota Bandung Jawa Barat. Tercatat, sejak tahun 2016 silam, ia melakukan pelecehan seksual terhadap belasan santri. Sebanyak 13 santriwati berusia 16-17 tahun diketahui mengalami pemerkosaan, dan delapan di antaranya mengandung dan melahirkan 9 anak.

Ilustrasi Kekerasan pada anak
ilustrasi/istimewa

Ini seolah menjadi fenomena gunung es, meski secara umum juga terjadi di lingkungan sekolah formal ataupun perguruan tinggi, fenomena kekerasan seksual di lingkungan pesantren menyita perhatian publik. Karena kita ingat, sebelumnya telah ada beberapa kasus serupa. Salah satunya, terjadi di Jombang, Jawa Timur. Pimpinan pondok pesantren di Jombang, Jawa Timur, berinisial S (50 tahun) diduga mencabuli para santriwati. Kasus itu terungkap pada Februari 2020. Korbannya mencapai 15 santriwati dalam dua tahun terakhir. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jombang telah memvonis S selama 15 tahun penjara.

Kita sangat prihatin dan mengutuk perbuatan pelaku. Tapi, tentu saja, prihatin dan mengutuk saja tak kan cukup. Perlu langkah nyata agar kejadian serupa tak terulang di kemudian hari.

Lantas, bagaimana memutus mata rantai kekerasan seksual pada anak, khususnya pada lembaga berbasis agama seperti pesantren; “apa bentuk upaya preventif” yang mesti dilakukan untuk mencegah kasus terjadi di kemudian hari? Mengevaluasi sistem lembaga pendidikan berbasis agama khususnya boarding school atau pesantren, hal apa yang mestinya dibenahi dalam konteks persoalan ini—mengingat mereka bersifat taklid (bias otoritas)?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber yakni: Siti Aminah Tardi (Komisioner Komnas Perempuan); KH Ahmad Najib Amin Hamam (Pengasuh Pondok Pesantren Pabelan Magelang Jawa Tengah); dan Fahmi Alaydroes (Anggota DPR RI dari Fraksi PKS). (her/yes/ao)

Simak podcast diskusinya:

Artikel sebelumnyaMengenal DC Aryadi, Pegiat Literasi dari Rangkasbitung Banten
Artikel selanjutnyaBea Cukai Jateng-DIY Ungkap TPPU Dari Rokok Ilegal