Semarang, Idola 92.6 FM – Demokrasi kita saat ini oleh sejumlah kalangan disebut demokrasi tersandera. Hal itu ditandai dengan demokrasi kita tersandera oleh kepentingan segelintir elite yang belakangnya disetir oleh para oligark.
Segaris lurus dengan itu, Bivitri Susanti—Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera mengibaratkan, hari-hari ini, demokrasi seperti cangkang kosong. Ia terlihat bagus dari luar tetapi di dalamnya tak berisi. Di dalam bungkus Pemilu dan seremoni kelembagaan demokrasi/ nilai-nilai demokrasi substantif tidak diterapkan.
Ia mencontohkan, pengambilan keputusan di DPR, sangat jauh dari demokrasi substantif karena yang dihitung hanya pandangan umum fraksi yang dikontrol oleh elite parpol. Individu anggota DPR hanya dibutuhkan untuk melengkapi jumlah anggota, sementara keputusan politik ada di tangan elite politik.
Di dalam DPR, Bivitri melihat, nyaris tak ada pertarungan gagasan yang substantif kecuali soal moralitas seperti dalam hal kekerasan seksual dan minuman beralkohol. Praktis usulan pemerintah akan selalu lolos karena fraksi-fraksi yang berpandangan berbeda dengan pemerintah kian sedikit.
Lantas, melihat situasi ini, bagaimana cara keluar dari cangkang kosong demokrasi? Adakah celah masuk melalui pintu perundang-undangan? Kalau yang harus mengetok palu adalah para politisi sendiri, bukankah ini seperti jeruk minum jeruk? Lalu, apakah kita akan terus begini? Upaya apa yang mesti dilakukan?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini/ radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Bivitri Susanti (Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera); Ray Rangkuti (Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA)); dan Prof Firman Noor (Peneliti Senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Republik Indonesia). (her/yes/ao)
Dengarkan podcast diskusinya: