Semarang, Idola 92.6 FM-Hukum di Indonesia kembali menjadi sorotan. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), pada kasus penyiraman air keras yang dialami penyidik senior KPK Novel Baswedan menuai pro dan kontra. Tuntutan 1 tahun penjara terhadap Rahmat Kadir Mahulete dan Ronny Bugis– dua terdakwa penganiayaan berat itu menjadi pokok persoalan. Tuntutan dianggap tidak setimpal dengan akibat yang ditimbulkannya.
Keputusan itu juga dinilai melukai rasa keadilan bagi korban maupun keluarganya karena akibat penyerangan tersebut, kini mata kiri Novel Baswedan cacat permanen. Tidak hanya itu, masyarakat pun merasakan bagaimana keadilan yang seharusnya ditegakkan oleh aparatur penegak hukum di negeri ini, seolah terkhianati atas tuntutan JPU kepada kedua terdakwa. Terlebih lagi, selain berlarut-larut dan sarat akan kepentingan politik yang akhirnya menyita waktu yang lama untuk mengungkap kasusnya.
Lantas, menyoroti kasus Novel Baswedan di mana tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap terdakwa hanya 1 tahun, benarkah tuntutan ini tidak mempertimbangkan rasa keadilan? Bisakah kasus ini dijadikan parameter compang-campingnya penegakan hukum kita? Lantas, upaya apa yang bisa kita lakukan agar tak terjadi lagi di kemudian hari?
Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, radio Idola Semarang mewawancara: Novel Baswedan (korban penyiraman air keras/ penyidik senior KPK) dan Abdul Fickar Hadjar (Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Jakarta). (her)
https://anchor.fm/radio-idola/episodes/Wawancara-bersama-Novel-Baswedan–penyidik-senior-KPK-efefkc