Paradoks Pembangunan dengan Pendekatan Green Economy

Ilustrasi

Semarang, Idola 92.6 FM – Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi masa mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka. Pembangunan berkelanjutan menyerukan upaya bersama guna membangun masa depan yang inklusif, berkelanjutan dan tangguh untuk manusia dan planet.

Agar pembangunan berkelanjutan dapat dicapai, penting untuk menyelaraskan tiga elemen inti: pertumbuhan ekonomi, inklusi sosial dan perlindungan lingkungan hidup. Elemen-elemen ini saling terkait dan semuanya amat penting untuk kesejahteraan diri individu dan masyarakat.

Istilah lain yang masih satu tujuan dengan pembangunan berkelanjutan, adalah apa yang disebut sebagai green economy. Green economy dapat diartikan sebagai gagasan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesetaraan sosial masyarakat, sekaligus mengurangi risiko kerusakan lingkungan secara signifikan.

Indonesia, sebagai salah satu negara yang ikut meratifikasi percepatan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan atau SDG’s, berkewajiban membangun dengan memperhitungkan environmental ethics dan keberlanjutan atau sustainability.

Tapi sayangnya, semangat green economy itu seakan paradoks dan bertentangan dengan keberadaan Omnibus Law UU Cipta Kerja—yang jika ditinjau isinya tidak sesuai dengan prinsip green economy dalam UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Di mana salah satunya, mengamanatkan agar luas kawasan hutan harus dipertahankan minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Tetapi sayangnya, dalam UU Ciptaker ketentuan itu dihapus. Sehingga akibatnya, jauh dari semangat, cita-cita maupun cara pandang keberlanjutan dalam spirit green economy.

Begitu juga dengan proyek food estate atau lumbung pangan di Pulau Kalimantan Tengah. Kebijakan itu dinilai bakal merusak fungsi hutan lindung untuk mencegah bencana banjir dan longsor karena terjadi de-forestrasi atau hilangnya hutan akibat kegiatan manusia.

Lantas, menghadapi paradoks tersebut; bagaimana mestinya kita membangun dan mengembangkan potensi Sumber Daya Alam dengan spirit green economy? Bagaimana pula membangun sinergi antara Pusat dan Daerah agar bersama-sama mengawal spirit green economy dalam pembangunan di wilayah masing-masing?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Marenda Ishak S (Dosen Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Bandung); Leonard Simanjuntak (Kepala Greenpeace Indonesia); dan Prof Budi Widianarko (Pengajar Program Doktor Ilmu Lingkungan, Unika Soegijapranata Semarang). (andi odang/her)

Dengarkan podcast diskusinya:

Ikuti Kami di Google News
Artikel sebelumnyaTim Mahasiswa UI Rancang Genom.Id, Basis Data Genetik Nasional untuk Identifikasi Manusia
Artikel selanjutnyaPertamina Prediksi Ada Kenaikan Konsumsi Elpiji Jelang Natal