“Haruskah pemerintah menelantarkan mereka, atau akankah kita mengorbankan keamanan warga bangsa, atas kemungkinan munculnya aksi terorisme mereka?”
Semarang, Idola 92.6 FM – Setelah beberapa waktu memicu polemik dan perdebatan publik, Pemerintah akhirnya memutuskan tidak akan memulangkan eks ISIS atau para teroris lintas batas (foreign terroris fighters) asal Indonesia, dengan pertimbangan untuk memberi rasa aman kepada rakyat di Tanah Air. Akan tetapi, terhadap anak-anak di bawah usia 10 tahun yang dibawa orangtuanya atau yatim piatu, pemerintah akan mempertimbangkannya.
Berdasarkan informasi yang didapat pemerintah, saat ini terdapat 689 teroris lintas batas asal Indonesia yang berada di Suriah, Turki, dan beberapa negara lain. Namun, pemerintah kemudian melakukan validasi, tercatat ada 228 orang yang sudah teridentifikasi. Menurut Menkopolhukkam Mahfud MD, khusus anak-anak, kasusnya akan dilihat satu per-satu. Sebab, dikhawatirkan ada anak-anak yang pernah terlibat tembak menembak dan sudah terpapar ideologi terorisme.
Kita melihat pemerintah berada pada ruang dilematis dalam kasus ini. Mengingat jika melihat ke belakang, dahulu belum ada teroris di Indonesia. Hingga kemudian, teroris di Indonesia mulai bermunculan, pasca pulangnya sejumlah “laskar perang jihad” dari Afghanistan—negara yang ketika itu tercabik oleh perang atas nama agama.
Sehingga, sejumlah pihak mengapresiasi keputusan pemerintah. Sebab, hal itu merupakan bentuk perlindungan pada 260 juta rakyat Indonesia. Agar tak terpapar paham terorisme dari mereka eks ISIS di Irak dan Suriah.
Meski demikian, muncul beragam pandangan; ada yang pro dan ada juga yang kontra. Guru Besar Ilmu Hukum Internasional Universitas Indonesia-Prof Hikmahanto Juwana menyatakan, anak-anak yang mengikuti latihan militer dan bersumpah setia pada ISIS sudah kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Jika anak-anak berusia di bawah 10 tahun akan dipulangkan ke Indonesia, pemerintah harus menyeleksi secara ketat untuk memastikan mereka tidak pura-pura insaf dan kemungkinan membangun kembali sel-sel terorisme di Indonesia dan negara sekitarnya.
Pandangan sebaliknya, dikemukakan Imparsial. Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri menyarankan, pemerintah perlu mengkaji ulang keputusannya. Sebab, dengan tidak memulangkan mereka, sama saja artinya pemerintah lepas tanggung jawab dari kewajiban konstitusionalnya untuk ikut serta dalam mewujudkan perdamaian dan keamanan global.
Sementara, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mempertanyakan soal kelanjutan penegakan hukum setelah Pemerintah Indonesia memilih untuk tidak memulangkan ratusan WNI eks ISIS yang kini berada di kawasan Timur Tengah. Ratusan WNI eks ISIS yang tergolong ke dalam kategori dewasa itu masuk ke dalam tindak pidana, apabila melihat Pasal 12a Undang-Undang Anti Terorisme.Sehingga mestinya, bila diketahui bahwa mereka mengikuti pelatihan atau bahkan sudah menjadi instruktur, maka para WNI itu bisa diancam hukuman maksimal 15 tahun seperti yang tertuang dalam Pasal 12b pada UU yang sama.
Lantas, merespons keputusan Pemerintah untuk tidak memulangkan eks ISIS, bisakah pemerintah dianggap telah menelantarkan mereka? Atau relakah kita mengorbankan keamanan warga bangsa, dari kemungkinan kambuhnya kembali ideologi terorisme mereka?
Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) periode 2011-2014 Ansyaad Mbai dan Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri . (Heri CS)
Berikut diskusinya:
Listen to 2020-02-13 Topik Idola – Ansyaad Mbai byRadio Idola Semarang on hearthis.at
Listen to 2020-02-13 Topik Idola – Ansyaad Mbai byRadio Idola Semarang on hearthis.at
Listen to 2020-02-13 Topik Idola – Ghufron Mabruri byRadio Idola Semarang on hearthis.at
Listen to 2020-02-13 Topik Idola – Ghufron Mabruri byRadio Idola Semarang on hearthis.at