Mengurai Penyebab Tingginya ICOR RI, Bagaimana Jalan Keluarnya?

Jokowi
Jokowi saat mengikuti acara "Meeting of The Governors and Mayors of the Capitals ASEAN" di JW Mariot Hotel, Jakarta, beberapa waktu lalu. (Photo: Tempo)

Semarang, Idola 92.6 FM – Polemik disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja mengungkap fakta yang cukup mencengangkan di mana Incremental Capital Output Ratio (ICOR) kita begitu tinggi. Bahkan, yang paling tinggi di antara negara-negara ASEAN. Rasio ICOR Indonesia yang tinggi menujukkan tingkat efisiensi yang masih rendah. Sejak 2016 hingga 2018 rasio ICOR Indonesia masih bertengger di level 6,3.

ICOR merupakan rasio antara investasi dengan pertumbuhan output regional (PDRB). ICOR bisa menjadi salah satu parameter yang menunjukkan tingkat efisiensi investasi di suatu negara. Semakin tinggi nilai ICOR, maka semakin tidak efisien suatu negara untuk investasi.

Dan di antara negara-negara se-kawasan, maka Indonesia relatif tidak efisien dibandingkan semua negara ASEAN. Apalagi kalau dibandingkan dengan Malaysia, Filipina, Thailand, kita ketinggalan. Rasio ICOR Malaysia sebesar 4,6, Filipina 3,7, Thailand 4,5, dan Vietnam 5,2.

Semakin tinggi rasio ICOR, maka semakin tidak efisien suatu negara untuk investasi. Oleh karena itu, ini menjadi PR bagi Indonesia untuk mengejar rasio ICOR negara tetangga, agar lebih efisiens, sehingga investasi bisa mengalir lebih lancar.

Ada sejumlah faktor yang menjadi pemicu tingginya ICOR, antara lain rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), tingginya biaya logistik, rumitnya birokrasi yang memicu munculnya pungli dan korupsi.

Kita belum tahu sampai kapan hiruk pikuk dan penolakan Omnibus Law UU Ciptaker ini akan berlangsung. Namun, terlepas dari itu, adakah jalan keluar dari tingginya rasio ICOR? Apa yang mesti kita lakukan agar ICOR kita turun, yang setidaknya, kembali ke level sebelumnya? Akankah tingginya ICOR ini, justru sedang dijawab dengan UU Ciptaker?

Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Anthony Budiawan (Direktur Political Economy and Policy Studies (PEPS)); Prof. Ari Kuncoro (Ekonom/ Rektor Universitas Indonesia); Bhima Yudistira Adhinegara (Pengamat Ekonomi dari Institute for development of Economics and Finance (INDEF)); dan Iskandar Simorangkir (Deputi Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian RI). (andi odang/her)

Simak podcast diskusinya:

Ikuti Kami di Google News
Artikel sebelumnyaMengenal Situs Megalitik Tutari Sentani Papua bersama Arkeolog Hari Suroto
Artikel selanjutnyaApindo Jateng Berharap UU Cipta Kerja Buka Peluang Investasi