Menakar Revisi Undang-Undang Bank Indonesia: Seberapa Mendesak-kah?

Revisi UU BI
(Ilustrasi CNN)

Semarang, Idola 92.6 FM – Merespons situasi perekonomian global dan kondisi kekinian, DPR berinisiatif melakukan Revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Draf RUU BI telah disusun oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR. Ada beberapa pasal yang akan diubah dan ditambahkan dalam aturan baru pelaksanaan tugas BI. Setidaknya ada 14 pasal yang akan dirombak, baik itu disempurnakan atau dihilangkan.

Revisi Undang-undang ini pun menuai pro dan kontra—khususnya pada dua hal pokok, yakni: perubahan fungsi dan tugas pokok serta status independen BI. Mereka yang menyetujui penambahan fungsi dan tugas pokok menilai, tugas BI yang selama ini menyangkut kestabilan moneter dianggap terlalu sempit. Sementara, pihak lainnya khawatir bahwa revisi UU BI akan menggerus independensi BI sebagai bank sentral.

Menengok draft revisi UU BI, beberapa hal yang mendapat sorotan antara lain: tugas BI yang akan diperluas—tidak hanya memelihara kestabilan nilai rupiah, namun juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja yang berkelanjutan. Fungsi pengawasan perbankan dari OJK akan dikembalikan ke BI. Selain itu, kebijakan moneter dilakukan oleh dewan moneter yang diketuai Menteri Keuangan. Hal ini berbeda dari kondisi saat ini ketika kebijakan moneter ditetapkan oleh dewan gubernur saja.

Info Grafis Revisi UU BI
Info Grafis Revisi UU BI. (Ilustrasi: CNN Indonesia)

Lantas, apa saja persisnya urgensi revisi Undang-Undang BI? Benarkah tupoksi BI yang selama ini hanya mengurus soal moneter terlalu sempit? Tapi, benarkah revisi Undang-Undang BI justru akan menggerus independensi BI? Lalu, apa urgensinya mengembalikan “pengawasan” perbankan pada BI?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Dr Anis Byarwati (Anggota Baleg DPR RI dari Fraksi PKS); Ryan Kiryanto (Staf Ahli OJK); Aviliani (Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)); dan Dradjad H.Wibowo (Politisi dan Ekonom Suistainable Development Indonesia). (her)

Berikut podcast diskusinya:

Ikuti Kami di Google News
Artikel sebelumnyaBI Jateng Bantu Pemprov Tarik Investor
Artikel selanjutnyaInovasi Tim Mahasiswa UI: LUSSI, Batu Bata Ramah Lingkungan dari Lumpur Lapindo