Semarang, Idola 92.6 FM – Mendung pekat kini seolah sedang menaungi lembaga KPU. Di tengah tingginya espektasi publik pada KPU, kita dikagetkan pada kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK pada salah satu komisionernya, Wahyu Setiawan. Ini seolah membuat publik patah hati. Sebab, selama ini, Wahyu dikenal sebagai sosok di KPU yang paling getol mengkampanyekan antikorupsi dan membangun narasi membatasi mantan napi korupsi maju dalam Pemilu dan Pilkada.
KPK menetapkan Wahyu Setiyawan sebagai tersangka dugaan korupsi terkait dengan penetapan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019-2024. Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar menuturkan, Wahyu diduga menerima hadiah terkait dengan penetapan anggota DPR terpilih 2019-2024. Ia diduga menerima dana untuk membantu Harun Masiku sebagai pengganti anggota DPR yang meninggal dunia, Nazarudin Kiemas.
Wahyu pun sebelumnya meminta uang operasional Rp900 juta. Wahyu diduga telah menerima uang sedikitnya Rp600 juta. Dalam OTT, KPK menemukan bukti uang senilai Rp400 juta dalam mata uang dollar Singapura dan buku rekening. Selain Wahyu, KPK juga menetapkan 3 orang lainnya, yakni Harun Masiku, Agustiani Tio Fidelina, dan Saeful Bahri.
Jika kasus penyuapan terhadap Wahyu terbukti, hal ini tidak bisa dipandang remeh. Loughman dan Sibery dalam Bribery and Corruption: Navigating the Global Risks menyebutkan, suap dan korupsi terus saja menciptakan lapangan permainan yang tidak setara dalam perdagangan internasional, perdagangan, dan proses pemerintahan. Praktiknya mulai dari negara berkembang di Afrika, Amerika Latin, dan Asia, hingga Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Inggris.
Ya, kita prihatin dan miris. Apa yang dilakukan Wakyu seolah merubuhkan kredibilitas dan reputasi yang dibangun dengan susah payah oleh KPU dalam beberapa tahun terakhir. Meminjam apa yang dikatakan oleh Komisioner KPK, Lili Pintauli Siregar—apa yang dilakukan Wahyu merupakan pengkhianatan terhadap demokrasi. Kepercayaan publik pada Pemilu dan juga penyelenggara KPU—yang diperjuangkan dan dirawat sejak lama—seolah, seperti coreng moreng akibat perilaku lancung komisionernya sendiri. Apalagi, kasus hukum yang membelit anggota KPU bukan kali ini saja terjadi.
Lantas, pemulihan atau recovery seperti apa yang mesti dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan publik pada lembaga KPU? Langkah-langkah seperti apa yang perlu dilakukan agar hal ini tak berulang seperi arisan? Bagaimana pula agar kasus ini tak tergiring pada wacana pengembalian pemilu system tidak langsung—seperti yang dikawatirkan sejumlah pegiat demokrasi?
Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Dr Nur Hidayat Sardini (Dosen FISIP Universitas Diponegoro Semarang, pernah menjabat Ketua Bawaslu RI 2008-2011 dan anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) 2012-2017) dan Ferry Kurnia Rizkiyansyah (Mantan Komisioner KPU, Peneliti Senior di Netgrit).
Berikut diskusinya:
Listen to 2020-01-13 Topik Idola – Dr. Nur Hidayat Sardini byRadio Idola Semarang on hearthis.at
Listen to 2020-01-13 Topik Idola – Dr. Nur Hidayat Sardini byRadio Idola Semarang on hearthis.at
Listen to 2020-01-13 Topik Idola – Ferry Kurnia Rizkiyansyah byRadio Idola Semarang on hearthis.at
Listen to 2020-01-13 Topik Idola – Ferry Kurnia Rizkiyansyah byRadio Idola Semarang on hearthis.at