Semarang, Idola 92.6 FM-Kritik melalui satire atau humor sudah menjadi tradisi lisan masyarakat. Bahkan, sudah ada sejak ratusan tahun silam. Hal itu menjadi bagian dari spirit keterbukaan untuk menerima masukan dan kritikan demi kebaikan bersama.
Namun, keberadaan komedi politik ini kini dimaknai berbeda di tengah kondisi masyarakat yang semakin dinamis. Kini hal itu bisa memunculkan tekanan dari sebagian warganet. Kasus terakhir yang memantik perhatian publik adalah serangan netizen dan pendengung (buzzer) pada komika Gusti Muhammad Abdurrahman Bintang Mahaputra alias Bintang Emon.
Ia mendapat serangan atau teror pada akun medsosnya setelah membuat video berisi kritik atas tuntutan setahun bagi dua oknum polisi penyerang Novel Baswedan—penyidik senior KPK. Video berdurasi 1 menit 43 detik dengan judul “Ga Sengaja” itu ditonton lebih dari 4,4 juta kali di twitter dan disukai 1,5 juta kali di Instagram.
Setelah video itu menjadi viral, ia mendapat serangan balik di media sosial. Sejumlah twitter menuding Bintang Emon sebagai pengguna narkoba. Lantas, menyoroti kritik lewat komedi yang berujung serangan dari warganet dan buzzer, apa yang terjadi? Dari perspektif sejarah dan kebudayaan, di mana posisi kritik komedi? Mengulas ini, radio Idola Semarang mewawancara Pengajar Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono. (her)