Semarang, Idola 92.6 FM – Bermula dari kasus pemuatan karikatur Nabi Muhammad di tabloid satire Charlie Hebdo—kini perhatian dunia tetuju pada sosok Presiden Prancis—Emmanuel Macron. Sudah sepekan lebih Macron menjadi sorotan negara-negara muslim akibat ucapannya—yang mengatakan bahwa “Islam adalah agama yang mengalami krisis di seluruh dunia.”
Tak berhenti pada kecaman, aksi seruan boikot produk Prancis pun dilakukan oleh beberapa negara kawasan Arab dan Timur Tengah. Meski demikian, di tengah berbagai kecaman, Macron tetap bersikukuh menegakkan prinsip negaranya. Ia akan tetap mempertahankan kebebasan berpendapat, termasuk melalui medium karikatur. Ia seolah tetap akan mengibarkan bendera Prancis atas nama panji-panji: Liberte, Egalite, dan Fraternite.
Hal itu semakin menyulut amarah umat muslim, termasuk di Indonesia. Atas nama membela Nabi Muhammad, sejumlah kelompok masyarakat melakukan aksi mengecam Macron. Tak cukup di situ, Majelis Ulama Indonesia, hingga atas nama Pemerintah Indonesia melalui Presiden Joko Widodo pun turut mengecam Prancis.
Terlepas dari itu semua, polemik yang terjadi di Prancis ini sejatinya bukan kasus kali pertama. Fenomena semacam ini tak ubahnya seperti siklus yang berputar pada momen-momen tertentu.
Satu hal dari kasus ini pun kita kemudian bertanya-tanya, benarkah kebebasan berpendapat itu bersifat absolut dan tanpa batas? Lalu, bagaimana dengan responsibility atau tanggung jawab? Kita jadi mengingat apa yang pernah diusulkan oleh profesor neurologi dan psikiatri asal Austria–Victor E. Frankl. “Kita telah memiliki patung Liberty di Pantai Timur Amerika, sudah seharusnya pula kita punya patung Responsibility di Pantai Baratnya.” Makna sederhananya, di balik nilai-nilai kebebasan, akan selalu terdapat prinsip tanggung jawab. Kebebasan haruslah selalu terkandung tanggung jawab di dalamnya.
Lantas, di balik fenomena kekerasan atas nama kebebasan berpendapat dan agama, kita pun bertanya-tanya, memaknai peristiwa boikot Prancis, maka pelajaran berharga apa yang bisa kita petik? Bagaimana pula menyemaikan pemikiran kritis dalam ber-agama sehingga tak terjebak pada ‘taklid buta’?
Untuk memperoleh gambaran atas persoalan ini, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Dr Mahmud Syaltout (Pakar Politik Prancis/ Alumni Universitas Sorbonne Prancis); Dr. H. M. Mukhsin Jamil, M.Ag (Wakil Rektor UIN Walisongso Semarang); dan Donny Danardono (Pakar Filsafat Sosial dan Hukum Unika Soegijapranata Semarang). (andi odang/her)
Dengarkan podcast diskusinya:
Listen to 2020-11-03 Topik Idola – Dr Mahmud Syaltout – Belajar Memaknai Peristiwa Boikot Prancis byRadio Idola Semarang on hearthis.at
Listen to 2020-11-03 Topik Idola – Dr Mahmud Syaltout – Belajar Memaknai Peristiwa Boikot Prancis byRadio Idola Semarang on hearthis.at
Listen to 2020-11-03 Topik Idola – Dr. H. M. Mukhsin Jamil M.Ag – Belajar Memaknai Peristiwa Boikot Prancis byRadio Idola Semarang on hearthis.at
Listen to 2020-11-03 Topik Idola – Dr. H. M. Mukhsin Jamil M.Ag – Belajar Memaknai Peristiwa Boikot Prancis byRadio Idola Semarang on hearthis.at
Listen to 2020-11-03 Topik Idola – Donny Danardono – Belajar Memaknai Peristiwa Boikot Prancis byRadio Idola Semarang on hearthis.at
Listen to 2020-11-03 Topik Idola – Donny Danardono – Belajar Memaknai Peristiwa Boikot Prancis byRadio Idola Semarang on hearthis.at