Semarang, Idola 92.6 FM-Salah satu pemikiran Bung Karno yang masih relevan hingga saat ini adalah konsep berdikari atau “Berdiri Di Kaki Sendiri”. Berdikari merupakan sebuah perwujudan bangsa yang mandiri, tangguh, serta tidak tergantung dengan bangsa lain. Namun sayangnya, terkait bidang pangan, kita masih jauh panggang dari pada api. Ketergantungan Indonesia pada negara lain di bidang pangan masih begitu tinggi. Kita masih menjadi pengimpor pangan.
Salah satu faktanya, impor gandum di Indonesia semakin melejit seiring dengan permintaan tepung terigu untuk industri mi dan roti yang meningkat. Bahkan, volume impor gandum di Indonesia kini mencapai lebih dari 11 juta ton per tahun. Menurut Departemen Pertanian Amerika Serikat, jumlah ini merupakan volume impor terbesar keempat di dunia setelah Mesir, China, dan Brazil.
Di sisi lain, ada secercah harapan karena Indonesia memiliki sumber bahan baku lokal yang melimpah, seperti sagu. Dan saat ini tengah dikembangkang Sago Mee oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Produk ini diharapkan dapat menggantikan produk mi instan.
Dalam catatan yang dipublikasikan oleh IPB University, luas lahan tanaman sagu di Indonesia mencapai lebih dari 5 juta hektar dengan 90 persen di antaranya berada di Papua dan Papua Barat. Lahan tanaman sagu seluas 1 hektar bisa menghasilkan 20 hingga 40 ton pati sehingga lahan seluas 5 juta hektar berpotensi menghasilkan 100 juta hingga 200 juta ton pati per tahun.
Lantas, menuju berdikari pada bidang pangan, bagaimana melepas ketergantungan kita pada impor? Apa sebenarnya hambatan dilakukannya substitusi pangan agar kita tak bergantung pada impor pangan? Belum mendesakkah upaya substitusi bahan baku pangan?
Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, radio Idola Semarang berdiskusi dengan Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Loekas Soesanto dan Pakar Agrobisnis Syafii Latuconsina. (her)
https://anchor.fm/radio-idola/episodes/wawancara-bersama-Pakar-Agrobisnis-Syafii-Latuconsina-eh1aog