Semarang, Idola 92.6 FM – Program tol laut digulirkan Presiden Joko Widodo sejak akhir tahun 2014 pada awal periode pertamanya menjadi orang nomor 1 di Indonesia. Namun, hingga kini keberadaannya dinilai belum efektif mengurangi disparitas harga di sejumlah daerah. Sasaran program masih sulit tercapai, karena interkoneksi tidak berjalan efektif. Maka, realisasi komitmen pemerintah untuk mengevaluasi dan memenuhi program dinantikan publik.
Tol Laut merupakan konsep pengangkutan logistik kelautan yang bertujuan untuk menghubungkan pelabuhan-pelabuhan besar yang ada di nusantara. Dengan adanya hubungan antara pelabuhan-pelabuhan laut ini, maka dapat diciptakan kelancaran distribusi barang hingga ke pelosok. Sehingga terjadi pemerataan harga setiap barang di seluruh wilayah Indonesia.
Mengutip dari pidato Presiden Jokowi pada 5 April 2016 lalu, “Tol Laut untuk apa? Sekali lagi, ini mobilitas manusia, mobilitas barang. Harga transportasi yang lebih murah, biaya logistik yang lebih murah, dan akhirnya kita harapkan harga-harga akan turun.”
Namun setelah beberapa tahun dijalankan, bagaimana hasilnya? Publik seolah ingin menagih kembali komitmen itu. Dari survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada 29 Februari hingga 1 Maret 2020 diketahui bahwa program tol laut masih membutuhkan sosialisasi meski sudah banyak dikenal. Sebanyak 51,84 persen responden mengetahui tol laut dan 47,98 persennya tidak tahu. Meski tol laut belum optimal, mayoritas responden meyakini program ini bisa mendukung kegiatan perekonomian di daerah perbatasan, terpencil, dan terluar di wilayah Indonesia.
Akan tetapi realitasnya, di sejumlah daerah—yang dilalui trayek tol laut menunjukkan—program belum signifikan dalam memangkas biaya logistik yang tinggi. Bahkan, seperti yang terjadi di Kabupaten Biak Numfor Papua, program tol laut justru terhenti sejak November 2018. Faktor ketidakjelasan jadwal serta keterbatasan daya angkut, turut memengaruhi keengganan pengusaha menggunakan jasa tol laut.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bidang Industri, Perdagangan, dan Investasi-Ahmad Heri Firdaus menilai, selama ini tol laut masih belum efisien. Salah satu indikatornya, daerah-daerah yang memiliki pelabuhan dan dilalui tol laut—inflasinya lebih tinggi dari inflasi nasional. Menurut Heri, sejak awal konsep tol laut itu lebih mengedepankan paradigma transportasi sehingga sampai sekarang pun masih belum efisien. Padahal semestinya, yang lebih tepat adalah paradigma supply chain, yaitu jaringan suplai.
Lantas, apa kabar tol laut; sudahkah interkoneksi yang dihasilkan menurunkan biaya logistik yang terkenal paling mahal di dunia? Lalu, upaya evaluasi dan perbaikan seperti apa yang mesti dilakukan demi memangkas disparitas harga di sejumlah daerah? Pembangunan infrastruktur yang jor-jorran di periode pertama pemerintah Jokowi—belum mampukah menjadi daya ungkit?
Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, radio Idola Semarang berdiskusi dengan beberapa narasumber, yakni: Ahmad Heri Firdaus (Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bidang Industri, Perdagangan, dan Investasi) dan Dradjad Wibowo (politisi Partai Anamat Nasional/ ekonom). (Heri CS)
Berikut diskusinya:
Listen to 2020-03-11 Topik Idola – Ahmad Heri Firdaus – Apa Kabar Tol Laut byRadio Idola Semarang on hearthis.at
Listen to 2020-03-11 Topik Idola – Ahmad Heri Firdaus – Apa Kabar Tol Laut byRadio Idola Semarang on hearthis.at
Listen to 2020-03-11 Topik Idola – Dradjad Wibowo – Apa Kabar Tol Laut byRadio Idola Semarang on hearthis.at
Listen to 2020-03-11 Topik Idola – Dradjad Wibowo – Apa Kabar Tol Laut byRadio Idola Semarang on hearthis.at